Akhir-akhir ini sedang viral berita yang memaparkan bahwa AN, salah satu siswi di SMP IT Nur Hidayah, Solo, dikeluarkan dari sekolah sebab menjalin interaksi via media sosial dengan lawan jenisnya (Harian Jogja, 11/1/2020). Harus diakui bahwa peraturan sekolah yang sebenarnya bermaksud baik untuk memberikan pendidikan agar tidak terjadi pergaulan bebas di masa mendatang, akan tetapi mengeluarkan siswa sebab melanggar aturan apalagi yang tidak terkategori pelanggaran berat sehingga mencemarkan nama baik sekolah, agama, bangsa dan negara yang selayaknya harus dijunjung tinggi dengan segenap hati.
Tercatat, bahwa AN melanggar sebanyak tiga kali dengan pelanggaran yang sama, yakni interaksi dengan siswa laki-laki (Solopos, 11/1/2020). Pertama, AN ketahuan chatting dengan teman laki-lakinya yang setingkat di kelas VII. Kedua, interaksi terjadi ketika salah satu kakak kelas yang suka kepada AN memberikan surat berisi ucapan selamat ulang tahun. Kakak kelas itu meminta dikirimi surat balik ketika dia berulang tahun. AN dapat poin pelanggaran lagi karena dikira yang memberi ucapan duluan, tapi si kakak kelas tidak diberi poin pelanggaran karena tidak ada bukti surat yang dulu diberikan kepada AN. Ketiga, AN berfoto selfie dengan siswa laki-laki. Karena akumulasi poin ketiga pelanggaran tersebut, AN pun dikeluarkan dari sekolah karena pihak sekolah menganulir interaksi yang berlebihan dengan lawan jenis.
Terlepas dari apa pun motifnya, mengeluarkan siswa dari sekolah karena pelanggaran yang sebenarnya sepele ini tentu sangat berlebihan. Apalagi menurut salah satu guru les privat AN, Citra Andini, si AN melakukan interaksi dalam batas wajar menurut norma-norma sosial yang berlaku. Hal itu menunjukkan bahwa sekolah bukan hanya tidak mampu mendidik siswa untuk memiliki karakter dan kepribadian yang baik sebagaimana dicanangkan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, tetapi juga menebar dan menanamkan benih-benih perilaku radikal kepada siswa. Atas dasar ketidaksepakatan sekolah atas perilaku siswa, tanpa ada penelitian fakta secara komprehensif atas pelanggaran yang dilakukan siswa, mereka dengan semena-mena bisa mengeluarkan siswa. Ini mengajarkan siswa untuk menyingkirkan orang-orang yang berbeda dengannya di kemudian hari ketika sudah bermasyarakat. Pantaslah jika desain pendidikan masih saja demikian, kita harus siap untuk terus sibuk bersih-bersih radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Baca juga : Peran Living Values Sekolah dalam Menanggulangi Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Ironinya, justru yang terindikasi melakukan bentuk perilaku yang mencerminkan perilaku radikal ini adalah sekolah berbasis agama. Agama yang seharusnya menjadi basis rahmat dalam sistem kurikulum sekolah, justru menjelma menjadi laknat.
Dalam konteks ini, sekolah tentu harus berbenah diri. Sekolah itu tempat orang-orang belajar tentang pentingnya dan bagaimana cara membumikan budi pekerti, bukan perihal intoleransi dengan dalih peraturan yang diselaraskan dengan ajaran agama.
Inklusivitas Lembaga Pendidikan
Melihat aspek tersebut, sebenarnya hal penting yang harus dilakukan sekolah adalah meninjau ulang sejauhmana inklusivitas sekolah terhadap perbedaan-perbedaan yang menjadi fitrah masyarakat Indonesia. Jangan berlaku eksklusif. Perilaku eksklusif lembaga pendidikan selain dapat menjadi ladang tumbuh suburnya radikalisme, juga menyulut segregasi sosial di masyarakat akibat merasa diperlakukan secara tidak adil oleh institusi pendidikan.
Selanjutnya, sikap inklusif yang sudah mulai ditanamkan sejak sekolah dengan sistem pendidikan yang inklusif pula, akan membuat siswa mengerti bahwa kita harus menghargai hak-hak orang lain. Ditunjang dengan penanaman karakter dan paham keagamaan yang kuat, siswa selanjutnya bukan hanya terbiasa untuk menghargai hak-hak orang lain, namun juga beretika, berkepribadian Pancasila, dan memiliki pemahaman keagamaan dan yang tidak salah kaprah.
Dari itu, marilah bersama-sama melakukan sinergi untuk membentuk sekolah yang layak huni bagi siswa. Sekolah yang mendidik budi pekerti, bukan mengajarkan intolerasi. Memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk menjadi pribadi yang cerdas dan baik. sehingga tidak mendapatkan diskriminasi akibat peraturan-peraturan sekolah yang merugikan spirit inklusifitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 13 Januari 2020 2:38 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments