Narasi

Sekolah, Perdamaian dan Kearifan Lokal

Sekolah merupakan “rumah besar” dalam kehidupan. Dengan sekolah, manusia mendapatkan jalan dan metodologi hidupnya, walaupun tidak seutuhnya. Makanya, gerakan terorisme akan selalu memanfaatkan sekolah untuk kepentingan sesaatnya. Sudah banyak penelitian yang mengabarkan bahwa pendidikan agama di sekolah banyak mengajarkan ihwal radikalisme dan terorisme, termasuk beredarnya buku-buku “keras” yang meresahkan guru dan orang tua.

Di tengah pergolakan terorisme yang masih menakutkan dunia hari ini, dunia pendidikan harus kembali kepada basis dan pondasi tiap daerah yang biasa dinamakan kearifan lokal. Kearifan lokal harus menjadi pijakan lembaga pendidikan dalam membangun peradaban Indonesia masa depan. “Bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling adaptif dalam meres­pons perubahan,” begitu penjelasan teori survival of the fittest yang dibangun Charles Darwin (1809-1882). Kemampuan adaptif merupakan peluang dan kunci meraih sebuah kemajuan.

Kemampuan adaptif sekolah terletak dalam bingkai kearifan lokal. Sayangnya, kearifan lokal semakin ditinggalkan. Sekolah tidak lagi mempunyai referensi yang memadai dalam menggali kearifan lokal, sementara kecanggihan teknologi informasi dibiarkan secara liar merampas etika dan moralitas. Peserta didik sekarang ini sangat bangga memegang handphone bermerk mewah, tetapi “malu” untuk bersopan santun kepada yang lebih tua.

Kearifan lokal sudah ada dan menancap dalam keseharian kehidupan masyarakat. Kearifan lokal ini harus digali, sehingga pendidikan mampu menyerap nilai luhur bangsa yang sudah diciptakan para bijak bestari masa silam. Kalau bangsa ini ingin membangun generasi emas untuk Indonesia 2025, maka kearifan lokal adalah jawaban paling strategis. Kalau kearifan lokal sudah digali dan ditancapkan dalam keseharian siswa, maka akan lahir generasi yang selain mempunyai wawasan luas globalisasi, juga sangat kuat menjaga nilai luhur budaya sendiri.

Etos kearifan lokal inilah yang menginspirasi lahirnya UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk menciptakan generasi emas Indonesia sebagaimana dalam UU No 20 tahun 2003 ini, peserta didik hanya mengikuti pendidikan di sekolah sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Kalau hanya 30 persen yang dijalankan sekolah, bagaimana sekolah mampu membentuk karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Padahal, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Ini dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000).

 

Masa Depan yang Damai

Kearifan lokal harus menjadi basis lembaga pendidikan dalam menjawab masa depan yang damai. Bagi Retno Susanti (2011) model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah.

Kearifan lokal milik kita sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan India semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal.

Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Dari sinilah, kearifan lokal menjadi pijakan utama membangun peradaban dunia yang damai.

Sekali lagi, sekolah adalah “rumah kehidupan”. Nilai-nilai kearifan harus tertanam kuat, sehingga generasi masa depan siap menjadi tonggak lahirnya peradaban yang damai dan sejahtera.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

22 jam ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

23 jam ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

23 jam ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

23 jam ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

2 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

2 hari ago