Narasi

Self Tolerance untuk Perdamaian Global

Berdiri di atas perbedaan merupakan sebuah peluang untuk menumbuhkan kecerdasan batin. Tidak mudah, akan tetapi ketika individu mampu melewati fase ‘kritis’ dan mampu bersikap adaptif sekaligus tolerantif, maka babak baru perdamaian dalam diri dan lingkungan sekitar akan dimulai. Kemampuan memaafkan diri, dan memberikan pemakluman atas ‘kesalahan diri’, pada dasarnya merupakan modal psikologis bagi seseorang untuk dapat menerima perbedaan, dan bersikap adil serta proporsional.

Akan tetapi, membangun self tolerance tidaklah mudah. Kemampuan bertoleransi terhadap (kesalahan) diri hanya dapat ditempa melalui kegagalan, kekecewaan, dan fase ‘kritis’ dalam bingkai sikap memaklumi dan memaafkan. Di era digital, kita tanpa sadar ‘diarahkan’ untuk mengejar suatu hal yang bersifat kuantitatif, dibanding kualitatif. Secara kasat mata, kesuksesan diukur dari jenjang karir, jumlah kekayaan, dan hal-hal duniawi lainnya. Penilaian ini, setidaknya membiasakan kita untuk suka melihat segala sesuatu secara instan, hanya berdasar sampul depannya.

Akibatnya jelas, ketika sedikit saja ada perbedaan yang ditangkap oleh mata, kita buru-buru membangun jurang pemisah. Kita enggan berdialog dan bahkan dengan kilat menjustifikasi kelompok lain salah. Padahal, persepsi yang kita bangun sering salah. Maka, ketika berjumpa dengan perbedaan, kita harus siap dan menyikapinya secara bijak. Kita harus ingat, bahwa kita pun pernah melakukan kesalahan, dan sejatinya kita merupakan manusia yang fitrahnya merupakan tempat salah dan lupa.

Ketika hendak membenci, atau bahkan memusuhi orang atau kelompok lain, seyogianya kita terlebih dahulu ‘memanggil ingatan’ bahwa kita bukan manusia sempurna. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dan wajar, sebab setiap individu membangun ‘self’nya di medan fenomena yang tidak sama. Latar belakang pendidikan, sosial, agama, dan budaya yang beragam pasti akan menghasilkan tradisi sikap dan pola pikir yang ‘kaya’.

Islam, sejak masa kehadirannya selalu mendidik umatnya agar bersikap toleran. Hal ini wajar, sebab bila kita telisik lebih dalam, ternyata sikap toleransi dapat memupuk persaudaraan dan mewarnai kehidupa dengan perdamaian dan keharmonisan. Tanpa toleransi, maka kita akan diliputi permusuhan, dan hal itu merupakan racun psikis yang dapat melumpuhkan pembangunan dalam berbagai bidang. Sampai titik ini, kita sepakat bahwa toleransi pada diri merupakan awalan bagi indivdu untuk mampu memberikan sikap toleran kepada orang lain.

Orang-orang yang menyediakan dirinya untuk memaafkan masa lalu dan mengikhlaskan masa kelam, akan memiliki hati yang luas untuk menampung perbedaan. Selain itu, individu yang mampu  memaafkan diri sendiri, akan mampu menerima perbedaan dengan tangan terbuka. Mereka memiliki cakrawala berpikir yang luas sekaligus jernih. Toleransi dalam diri, nyatanya merupakan  modal psikis untuk mampu bersikap ramah terhadap perbedaan.

Jika saja, orang tua zaman now, mampu mendidik anak-anak memiliki self tolerance yag adaptif, maka kita akan saksikan, kisaran 20 tahun kemudian, akan banyak tunas muda yang memiliki perspektif damai dalam merespons perbedaan. Secara personal, membangun karakter toleran pada diri anak tidaklah sulit. Hanya saja, ini membutuhkan totalitas para orang tua. Sejak kecil, anak memang harus dilatih untuk memiliki kemampuan memaafkan diri sendiri, dan memaafkan kesalahan orang lain. pada prinsipnya, hanya itu saja.

Seandainya saja, para orang tua menyamakan langkah untuk melatih kids now untuk dapat mudah memaafkan diri sendiri dan orang lain, maka secara pelan namun pasti kita telah menciptakan langkah menuju perdamaian. Memang tidak mudah, sebab keberhasilan pendidikan akan bergantung pada sejauh mana upaya orang tua konsisten memberikan teladan.

Mudah memaafkan kesalahan diri dan orang lain, pada dasarnya merupakan bekal bagi kita untuk tidak lekas ‘terbakar’ amarah sesaat. Ini perlu kita latih, dan kita biasakan dalam merespons kehidupan. Semoga seiring sejalan dengan upaya mudah memaafkan, kita telah meningkatkan kualitas self tolerance sekaligus mendidik anak-anak untuk mencintai perdamaian dan persaudaraan. Dan seandainya, komitmen ini kita mulai secara masif dan massal, bukan tidak mungkin tahun 2018 akan menjadi tahun awal bagi Indonesia untuk memasuki babak perdamain global. Wallahu’alam.

This post was last modified on 15 Januari 2018 1:17 PM

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

11 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

11 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

11 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

11 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago