Narasi

Damai dengan Merenung Kebangsaan

Berbicara tentang perdamaian tentu harus membahas hal-hal yang menyebabkan keadaan tidak damai. Logikanya sederhana, dengan kita mengenali sebab-sebab dan akar permasalahan kita akan lebih mudah mengelola problematika tersebut dan menciptakan perdamaian.

Ketidakadilan disektor sosial, ekonomi dan politik dapat memicu lahirnya konflik. Di sektor sosial semisal provokasi, perpecahan, adu domba, fitnah, dan lain sebagainya. Penyebab-penyebab konflik di sektor yang lain perlu kita ketahui juga, karena ini untuk membendung terjadinya konflik ke depan. Lalu, kita kerucutkan lagi apa yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan di sektor tersebut. Kemiskinan kah? Berita Hoakskah? Rendahnya pendidikankah? Perbedaankah? Agamakah? Kita harus berani menelanjanginya satu per satu sampai ketemu titik terang permasalahannya.

Kalau kita mau menggaris bawahi kemiskinan dan berita hoaks atau berita bohong memang dapat mengakibatkan perselisihan. Sekarang kita lihat saja, betapa banyaknya  kasus-kasus kriminal yang bersumber dari kemiskinan. Mulai dari pencurian, pencopetan, penodongan, perampokan hingga pembunuhan. Tidak jarang pula berita hoaks yang mengakibatkan kerusuhan. Tentu kalau kita tidak lupa, kasus pembakaran rumah ibadah oleh sekelompok masyarakat di Tanjung Balai, Sumatra Utara beberapa tahun lalu beranjak dari berita hoaks.

Selain kemiskinan dan hoaks, pendidikan yang rendah kiranya mampu menyebabkan disintegrasi kebangsaan. Karena biasanya orang yang berpindidikan rendah mudah terhasut dan termakan isu-isu yang dapat berpotensi menyebabkan konflik. Walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang berpendidikan rendah tidak berati tak terdidik. Karena di zaman sekarang pendidikan tidak sesempit itu. Pendidikan bisa lahir dari bilik-bilik ruang keluarga dan ruang sosial kemsyarakatan. Apalagi zaman telah modern. Orang bisa saja mengakses dan belajar secara online.

Justru orang yang berpendidikan tinggi yang menjadi sumber masalah. Orang lulusan perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri banyak yang menjadi sumber masalah. Contohnya sangat mudah sekali, wakil-wakil rakyat kita kurang berpendidikan apakah mereka hingga menjadi wakil rakyat pun tidak mencerminkan wakil rakyat. Sebaliknya mereka tak segan melakukan korupsi, menciderai hak-hak rakyatnya.

Agama dan Perbedaan

Kita tanyakan kembali pada pada diri kita masing-masing. Sebenaranya apa yang membuat kita tidak nyaman dan tidak damai dalam mengarungi kehidupan? Hal yang sungguh riskan terjadi, seringkali agama yang harusnya menjadi jalan damai dalam kehidupan justru menjadi dalih bertindak semena-mena dan menjadi sumber kekerasan. Siapakah yang patut dipersalahkan? Dengan tegas penulis jawab oknum-oknum umat beragamanya. Sebabnya apa? Pemahaman yang sempit dan dangkal bisa memicu perpecahan dan ancaman bagi perdamaian. Agama hanya dijadikan sebagai alat pembenaran sepihak untuk melakukan tindak-tunduk intoleransi bahkan pengeboman (kekerasan). Bahkan akhir-akhir ini isu-isu agama dan SARA sangat laku untuk berpolitik

Padahal sebaliknya, agama diturunkan ke bumi sebagai risalah ketuhanan untuk diamalkan bagi pemeluknya. Terkhusus Islam. Ia datang ke bumi dibawa manusia yang paling mulia dari yang mulia sebagai bentuk manifestasi kasih sayang dan cinta terhadap sesama makhluk hidup. Pembawa dan penyampai risalah agama itu sendiri telah mengajarkan dan memberi teladan bagaimana dalam kehidupan beragama. Karena,Tuhan sendiri yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus ke dunia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sesuai al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107: Wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin. Yang artinya, dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Diutusnya Nabi Muhammad di dunia tidak hanya menjdi rahmat bagi sekelompok golongan saja. Di situ jelas kata lil alamin. Tidak lil muslimin atau lil mikminin. Diutusnya Nabi Muhammad ke dunia menjadi rahmat bagi sekalian alam.  Jadi perbedaan manusia berdasarkam agama, suku, etnis dan ras tidak berlaku bagi risalah kerasulan Nabi. Berarti apakah Nabi yang hanya boleh bergaul dengan yang tidak segolongan? Tentu tidak. Kita sebagai umatnya sudah barang tentu meneladaninya semaksimal mungkin. Dan tentu saja risalah yang dibawa Nabi memuat nilai-nilai yang mengajarkan untuk berbuat baik dan kasih sayang terhadap perbedaan. Baik beda suku, agama, ras, dan etnisnya. Ini tercermin dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13.

Ahmad Solkan

penulis saat ini sedang kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga.

Recent Posts

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

29 menit ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

30 menit ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago

KH. Syukron Makmun: Singa Podium, Pelestari Akidah Ahlussunnah, dan Konter Wahabi

Di tengah ketegangan antarumat Islam akibat ikhtilaf mengenai hukum musik, yang diprakarsai oleh Wahabi dan…

1 hari ago

Gotong Royong: Menangkal Cacat Paham Individualisme Agama

Indonesia berdiri di atas keragaman sebagai salah satu pondasi utamanya. Oleh karena itu, keragaman itu…

1 hari ago