Narasi

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli negara—terutama negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara formal—sebagai negara kafir atau thaghut. Konsekuensi dari klaim ini tentu saja sangat berbahaya. Mereka akan menganggap negara tertentu sebagai negara yang layak diperangi, bahkan oleh warganya sendiri.

Tentu saja, pandangan seperti ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena mendistorsi warisan pemikiran Islam klasik dan mengabaikan konteks historis dan sosial yang membentuk konsep negara dalam Islam. Sebuah kesalahan fatal dan ceroboh klaim pengkafiran negara dengan alasan tidak adanya penerapan syariat secara formal.

Negara dalam Islam: Produk Ijtihad, Bukan Doktrin Absolut

Pemikiran Islam klasik tidak mengenal konsep negara sebagai doktrin yang baku dan final. Konsep negara dalam Islam bersifat ijtihadi, yaitu hasil penalaran manusia berdasarkan prinsip-prinsip umum syariat, bukan ajaran yang bersifat sakral seperti halnya rukun iman atau rukun Islam.

Dalam sejarahnya, ulama Islam menggunakan berbagai istilah dan kategori untuk menjelaskan wilayah dan otoritas kekuasaan, seperti Dar al-Islam (wilayah Islam), Dar al-Harb (wilayah perang), dan Dar al-‘Ahd (wilayah perjanjian). Namun, klasifikasi ini sangat terkait dengan konteks geopolitik dan kondisi relasi antara negara-negara Islam dengan kekuatan asing saat itu.

Ibnu Qayyim misalnya, menekankan bahwa wilayah-wilayah tersebut tidak ditentukan semata oleh label, tetapi oleh keamanan umat Islam, pelaksanaan hukum Islam, dan kemaslahatan yang ada di dalamnya. Imam Abu Hanifah bahkan memperbolehkan adanya Dar al-‘Ahd sebagai bentuk relasi damai antara umat Islam dan non-Muslim.

Karena itu, menyimpulkan bahwa hanya negara yang menerapkan seluruh hukum Islam secara formal sebagai satu-satunya bentuk negara sah menurut Islam merupakan kesesatan berpikir. Islam tidak pernah menetapkan satu bentuk negara yang rigid. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri membangun Negara Madinah dengan sistem yang menjunjung pluralitas, sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah.

Konsep Negara Bangsa dan Tantangan Baru Umat Islam

Dalam konteks modern, dunia tidak lagi hidup dalam struktur imperium besar seperti Romawi, Bizantium, Persia dan kekhalifahan, melainkan dalam bentuk negara bangsa (nation-state) yang berdaulat. Indonesia, Mesir, Turki, Malaysia, dan negara mayoritas Muslim lainnya telah membentuk sistem kenegaraan berdasarkan konsensus rakyat mereka, dengan mempertimbangkan kondisi sosiologis dan keragaman budaya.

Konsep negara bangsa ini adalah hasil dari ijtihad politik modern yang tidak bertentangan dengan Islam selama negara tersebut memenuhi prinsip-prinsip keadilan, perlindungan hak, dan kebebasan beragama. Dengan demikian, pembacaan ulang terhadap definisi negara dalam Islam mutlak dilakukan agar umat tidak terjebak dalam romantisme sejarah dan pengkafiran terhadap realitas kekinian.

Banyak ulama kontemporer menyuarakan perlunya memahami Islam secara kontekstual dan tidak terjebak dalam pengidolaan bentuk negara tertentu. Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Daulah fi al-Islam menegaskan bahwa Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu, melainkan memuat prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, musyawarah, amanah, dan persamaan.

Demikian pula, Syekh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir, menolak keras pandangan yang mengkafirkan negara hanya karena tidak menerapkan hukum Islam secara tekstual. Menurutnya, kekafiran hanya terjadi jika secara eksplisit negara atau penguasanya menolak eksistensi Tuhan atau mengingkari syariat secara total dengan maksud permusuhan terhadap Islam.

Labelisasi “negara kafir” terhadap negara seperti Indonesia adalah bentuk sesat pikir yang berakar pada pendekatan tekstualis, ahistoris, dan mengabaikan maqashid syariah (tujuan-tujuan luhur syariat). Ketika negara memberi ruang kebebasan beragama, melindungi jiwa dan harta, serta menjamin keadilan sosial, maka negara tersebut sejatinya telah mewujudkan esensi ajaran Islam.

Dalam negara seperti Indonesia, umat Islam dapat dengan bebas menjalankan ibadah, membentuk organisasi keagamaan, bahkan membuat peraturan berbasis agama dalam koridor konstitusi. Menuduh negara seperti ini sebagai kafir adalah perbuatan yang bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga merusak persaudaraan kebangsaan dan keutuhan umat.

M. Khoir

Recent Posts

Menghidupkan Kembali Dakwah Nusantara yang Akulturatif dan Akomodatif di Tengah Gempuran Dakwah Transnasional

Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…

1 hari ago

Dakwah Bil Hikmah : Anjuran Al-Quran untuk Beradaptasi dengan Kearifan Lokal

Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…

1 hari ago

Dakwah Puritan; Syiar Islam yang Tidak Relevan dengan Konteks Keindonesiaan

Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…

1 hari ago

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

2 hari ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

2 hari ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

2 hari ago