Narasi

Soft Power Bela Negara untuk Generasi Milenial

Di Dalam ruas sejarah, negara kita pernah mengalami satu fase ‘lumpuh.’ Agresi militer II Belanda yang terjadi pada 19 Desember 1948 menahan pimpinan RI dan mengancam kedaulatan dan kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para founding fathers bangsa. Meski para pimpinan disandera, dan pusat pemerintahan pada masa itu (Yogyakarta) dikuasai musuh, namun spirit untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan tidak lantas surut.  Alhasil, di atas keikhlasan, semangat cinta tanah air, persatuan, dan nasionalisme dapat mengukuhkah eksistensi negara.

Serangan terhadap kota Yogyakarta dimulai dengan pengeboman, dilanjutkan dengan menerjunkan pasukan payung di kota. Pasca penyerangan, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00. Meski dalam kondisi sakit, Soedirman memutuskan untuk mengabdikan diri sebagai figur yang siap mencintai dan membela tanah air. Sejak saat itu, Soedirman bergerilya, sebagai salah satu strategi perang melawan  Belanda.

Ujian ketahanan nasional pada masa lalu berhasil dilewati dengan prestasi yang amat baik. Di era milenial, ujian ketahanan bangsa sesungguhnya tak pernah berhenti. Hanya saja, menifestasi ujian di era milenial akan tampak berbeda. Khususnya di era digital, kita sedang diserang dengan strategi proxy war di dunia maya. Persatuan dan kesatuan bangsa kita dipecah belah. Sesama saudara, bahkan tak lagi enggan mengutarakan ujaran kebencian. Terlebih, menuju tahun politik 2019 nanti, kian terasa bahwa iklim perpecahan, permusuhan, dan persaingan yang (bisa jadi) tidak sehat akan kita rasakan.

Baca juga : Milenial dan Bela Negara Kekinian

Padahal, menjaga persatuan, keutuhan, dan kekuatan bangsa adalah tugas kita. Membela negara dalam konteks kekinian, dapat dilakukan dengan stop ujaran kebencian dan bersikap toleransi (tasamuh). Tantangannya kini adalah, dapatkah generasi milenial melakukannya? Generasi milenial yang banyak terdiri dari generasi Z umumnya sangat lekat dengan gawai, serba klik. Tanpa dibekali power skill bela negara yang baik, tentu generasi milenial dapat menjadi korban proxy war. Akibatnya adalah, persatuan dan kesatuan bangsa akan semakin rapuh.

Keluarga, sebab basis utama pendidik generasi milenial harus membekali anak-anak milenial dengan power skill bela negara. Selain keluarga, sekolah pun memiliki andil penting. Generasi milenial perlu dibekali power skill untuk mencintai tanah air, bertoleransi, dan juga mampu aktif  menyaring informasi. Dengan begitu, maka generasi milenial siap bertahan meski serangan proxy war mengancam.

Mencintai tanah air, sikap toleransi, dan kemampuan kritis menyaring informasi tidak lahir dari ruang hampa. Semua dilatih dan juga dibentuk dari proses belajar. Belajar merupakan salah satu proses untuk mendapatkan dan menguasai keterampilan baru. Mendidik anak untuk rajin membaca sejarah bangsa, cerita tentang sikap cinta tanah air, dan bersikap toleransi dalam keseharian merupakan proses panjang yang membutuhkan konsistensi.

Secara prinsip, anak dan remaja belajar melalui modelling. Jika orang tua, guru, dan orang dewasa di sekitarnya bersikap toleran dan mengutamakan persatuan dibandingkan ego pribadi, maka mereka pun akan memproduksi sikap toleran dan cinta tanah air, sebagai power skill utama bela negara. Sebaliknya, jika yang banyak disaksikan anak adalah ujaran kebencian dan sikap saling menjatuhkan, maka mereka pun akan memodel perilaku negatif yang mengancam keutuhan hidup berbangsa.

Pekerjaan utama bagi kita kini, adalah berusaha menjadi model yang baik untuk generasi milenial yang masih sangat belia. Menanamkan power skill bela negara, dapat dilakukan baik di dunia nyata atau dunia maya. Menuliskan kalimat positif yang menyatukan harus lebih sering kita lakukan, demi melawan ujaran kebencian yang semakin merajalela. Bersikap penuh toleran di alam digital dan di kehidupan aktual kita akan menjadi pelajaran berharga bagi generasi milenial agar tidak menjadi korban proxy war. Alih-alih menjadi korban, generasi milenial yang memiliki power skill bela negara, justru akan menjadi pahlawan perdamaian di dunia maya.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago