Narasi

Solidaritas Palestina, “Zionis Nusantara” dan Polarisasi Identitas

Konflik berdarah di jalur Gaza yang mempertemukan rakyat Palestina dan Kelompok Hamas dengan Tentara Israel sejatinya merupakan konflik politik yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Suatu saat kejadian akan muncul dan memporak-porandakan situasi dan korban pun berjatuhan.

Kejadian di jalur ini akan selalu menjadi perhatian global dan akan memunculkan dampak reaksi dari berbagai negara. Bagaimanapun tindakan mengecam dan mengutuk atas kebiadaban tentara Israel yang memborbadir rakyat sipil Palestina patut selalu disuarakan. Tindakan biadab yang merusak kemanusiaan patut dikutuk.

Namun, tentu saja solidaritas tidak harus jatuh pada polarisasi identitas di tingkat domestik. Muncul narasi ‘”zioanis nusantara” oleh elit politik yang baru-baru viral sejatinya hanya ingin mempolarisasi identitas dan sangat tidak produktif. Solidaritas digalakkan tetapi bukan harus menabur benih pertikaian dan kontroversi di dalam negeri.

Bangsa Indonesia secara konstitusional dan historis sudah sangat erat dan berkomitmen dalam memperjuangkan Palestina. Begitupun ormas keagamaan terbesar seperti NU dan Muhammadiyah sejak dulu terus mengkampanyekan dan memberikan bantuan donasi untuk rakyat Palestina.

Istilah “zionis Nusantara” adalah bagian dari politisasi konflik di tingkat global dengan hanya ingin menjadi kelompok paling pembela Palestina untuk menarik simpati politik. Tunggangan dalam kasus konflik seperti di tingkat global selalu saja ada. Dari sekedar dukungan politik hingga bantuan solidaritas yang tidak disertai dengan jalur koordinasi yang jelas.

Pertama memang harus disadari bahwa konflik di Palestina juga melibatkan kelompok bersenjata seperti Hamas dan pihak Israel. Genjatan senjata adalah solusi sementara, tetapi yang penting adalah komitmen kedua belah pihak untuk tidak mengorbankan rakyat sipil di masing-masing daerah dan negara.

Kedua, perjuangan Palestina adalah perjuangan kebangsaan rakyat Palestina untuk mempunyai kedaulatan penuh. Perjuangan kebangsaan ini setara dengan perjuangan seperti yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam memperebutkan kemerdekaannya.

Ketiga, rakyat Palestina adalah rakyat yang harmonis yang terdiri dari tiga agama yang harmonis. Konflik Palestina-Isrel sejatinya konflik politik yang tidak produktif dipolitisasi di dalam negeri sebagai konflik idenitas keagamaan yang dapat mempolarisasi masyarakat. 

Karena itulah, mari membela kemerdekaan Palestina dan menyuarakan solidaritas dengan produktif dengan tidak menimbulkan polarisasi baru di dalam negeri. Tidak perlu menjadi “sok pembela” Palestina hanya untuk mempolitisir konflik Palestina-Israel. Solidaritas adalah persoalan ketulusan membantu dan itu ditunjukkan oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa harus mempunyai tujuan dan motif politik, apalagi motif politik elektoral.

This post was last modified on 28 Mei 2021 10:10 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

12 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

12 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

12 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago