Narasi

Spirit Solidaritas Kebangsaan dalam Hari Raya Kurban

Kurban adalah salah satu ibadah purba dalam Islam. Ritual ini telah ada sejak kehadiran manusia pertama di muka bumi. Kedua putra Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil, merupakan pelakunya. Saat melakukan persembahan kurban, Allah menerima kurban Habil karena ketakwaannya. Sementara kurban Qabil tidak diterima. Qabil pun tidak puas dengan hasil ini dan mengancam saudaranya Habil. Terhadap tantangan ini, Habil menjawab tidak akan membalasnya. Sebab Habil hanya takut kepada Allah, tuhan semesta alam.

Di akhir cerita, Allah SWT berfirman “Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul kami telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak diantara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” Kisah ini dapat dibaca pada Surat Al-Maidah ayat 27-32.

Nabi Ibrahim lalu melanjutkan ritual ini. Dalam Surat Ash-Shaaffaat: 99-111, disebutkan Ibrahim sangat merindukan hadirnya seorang anak yang diidam-idamkan. Allah akhirnya mengabulkan doa Ibrahim dan memberinya anak bernama Ismail. Tetapi saat Ismail mencapai usia yang cukup, Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan buah hatinya.

Sebagai bentuk ketakwaan, Ibrahim pun memenuhi perintah tersebut. Saat ingin menyembelih, Allah mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa inilah yang akhirnya terus-menerus diperingati oleh kaum Muslim di seluruh dunia dengan Idul Qurban.

Hari Raya Kurban memiliki banyak pelajaran berharga yang bisa ditiru. Khususnya yang berhubungan dengan kesalehan sosial (kebaikan yang berhubungan dengan orang lain). Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Idul Qurban bisa dimanfaatkan untuk menguatkan simpul-simpul solidaritas antar sesama. Apalagi kondisi kebangsaan kita terus-menerus mendapat tantangan hebat. Sering dijumpai ikatan sosial yang merenggang akibat hal-hal sepele. Seperti referensi politik atau ketidakmampuan menerima pihak lain.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Dan kita semua bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan masyarakat. Maka makna Idul Qurban sebagai sarana perekat inilah yang harus diperdalam dan diimplementasikan sehingga perayaan kurban tidak berhenti pada aktivitas memotong hewan ternak an sich.

Penyembelihan hewan ternak merupakan simbol agar manusia menghilangkan sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Binatang adalah mahluk yang bekerja berdasarkan instingnya saja. Tidak memiliki kemampuan berpikir logis. Hewan juga sering bertarung memperebutkan daerah kekuasaan, makanan, dan pasangan. Dan nyawa pun dipertaruhkan untuk mendapatkan keinginan mereka.

Nah, manusia tidak boleh bersikap seperti itu. Kita diberikan kemampuan lebih dibanding binantang, yaitu otak. Dengannya, manusia bisa berpikir secara logis. Membedakan dan mempertimbangkan mana hal baik dan mana yang buruk. Manusia tidak boleh menyerah pada insting hewani yang juga diberikan kepadanya.

Jadi jika ada manusia yang kerap bertikai, nyatalah bahwa orang tersebut sudah dirasuki sifat hewani. Ketika ada kelompok yang mudah diadu domba, jelaslah mereka masih mengidap sifat hewan yang gemar diprovokasi. Saat kekerasan lebih dijunjung tinggi dibanding dialog, sama saja menghilangkan sifat dasar manusia yang memiliki otak untuk berpikir jernih.

Sebab manusia bukanlah hewan yang mudah berubah menjadi agresif akibat hal-hal sepele. Kodrat manusia adalah kemampuan berpikir sebelum bertindak. Jika akal ditempatkan terakhir, derajat manusia berarti telah hilang. Tidak beda dengan binatang yang nir-akal.

Selain makna yang berkaitan dengan sifat binatang, Idul Qurban memberi teladan bagaimana praktik bermasyarakat yang baik. Jika perilaku ini dapat dijalankan, niscaya kondisi masyarakat pun semakin rekat. Salah satunya adalah saling berbagi daging hewan kurban. Setelah hewan kurban disembelih, maka daging-dagingnya diberikan kepada tetangga di sekeliling. Baik yang membutuhkan ataupun tidak (dan syariat pun menganjurkan hal tersebut). Mereka yang memberi daging akan mendapatkan kepuasan diri karena merasa bermanfaat. Sementara mereka yang mendapatkan daging akan merasa orang lain mengasihinya. Dan secara perlahan, akan menimbulkan kasih sayang antar sesama.

Saling berkasih sayang dengan orang lain sebaiknya tidak hanya dilakukan di saat Idul Adha. Sebaiknya terus-menerus dilakukan di kesempatan lain. Jika mayoritas masyarakat Indonesia melakukan hal ini, sekaligus memahami maknanya, maka akan menjadikan solidaritas sosial kita cenderung meningkat dan kokoh. Sehingga ikatan kebangsaan ini tidak mudah dirontokkan oleh apapun juga.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago