Setidaknya Pemerintah sudah mengeluarkan dua peraturan terkait dengan pelarangan ideologi khilafah. Pertama, adalah pelarangan terkait dengan organisasi. Kedua, pelarangan terkait individu untuk menyebarkan ideologi khilafah.
Melihat semakin massifnya penyebaran ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, kedua bentuk peraturan itu sama-sama bertujuan untuk stabilitas politik dan keamanan negara.
Pelarangan pemerintah ini ternyata mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, terutama ormas moderat seperti NU dan Muhammadiyah. NU sedari awal adalah organisasi paling depan dalam melawan ideologi transnasional ini.
Dalam setiap kesempatan, NU selalu mengampanyekan perlunya kerja kolektif untuk memberantas ideologi khilafah yang dinilai bisa merongrong keutuhan NKRI.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammadiyah dengan mendukung penuh kebijakan politik pemerintah. Bagi Muhammadiyah, Indonesia adalah dar al-‘ahdwa al-syahadah, negeri kesepakatan bersama.
Baca juga : Kelindan Khilafaisme dan Nasionalisme Sempit di Indonesia
Semua anak bangsa sudah sepakat bahwa Pancasila adalah titik temu dan pijakan bersama, yang bisa mengakomodir semua pihak.Ini tentu bertentangan dengan ideologi khilafah yang menginginkan Islam sebagai konstitusi dan bentuk negara secara internasional.
Peraturan Saja Belum Cukup
Akan tetapi, apakah pelarangan ideologi khilafah efektif hanya berhenti dalam tataran peraturan hukum? Tentu jawabannya tidak! Peraturan hukum hanyalah sekadar payung untuk melakukan suatu tindakan, bukan strategi bagaimana tindakan itu dilakukan.
Dalam teorinya, –sebagimana dikemukan W. Freiedmann –suatu peraturan bisa efektif, mana kala tiga komponen dasar bisa terlaksana secara bersama-sama, yakni subtansi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law), dan budaya hukum (culture of law).
Subtansi hukumnya bagus, tetapi struktur hukum buruk, maka peraturan tidak akan jalan. Begitu juga sebaliknya, struktur hukum (baca; petugas hukum) bagus, tetapi substansi hukum jelak, hukum akan mandek.
Meskipun substansi dan struktur hukumnya bagus, tetapi kultur hukum –dalam hal ini budaya yang berlaku –tidak mendukung, maka suatu peraturan hanya berjalan di tempat. Ketiganya adalah tiga sudut siku-siku yang berkait-kelindan.
Urgensi Strategi Budaya
Dalam konteks inilah, strategi budaya itu sangat penting dalam implementasi pelarangan individu terhadap penyebaran ideologi khilafah. Strategi budaya yang dimaksud adalah perlunya pendekatan budaya, tidak memaksa, lunak, dan tidak ada rasa untuk dipojokkan.
Artinya, dalam menolak ideologi khilafah itu perlu penekanan budaya yang akomodatif, manusiawi, tidak dengan tangan besi, dan selalu mempertimbangkan asas kebersamaan sebagai sesama anak bangsa.
Budaya yang bersifat merangkul, bukan memukul; mendekati dengan cara dari hati ke hati, bukan dengan otot dan kekerasan, harus menjadi prioritas utama.
Selama ini banyak peraturan hukum, sebab dijalankan dengan cara-cara kekerasan dan paksaan tidak efektif, kalaupun ada perubahan hanya sebentar saja.
Strategi kebudayaan bisa dilakukan melalui kontra wacana. Artinya dengan menggaungkan Islam yang akomodatif, menghargai perbedaan, dan Islam yang ramah, akan ada perlawanan yang tidak frontal dan jauh dari baku hantam antar sesama umat.
Selama ini kerja-kerja yang dilakukan oleh pemerintah juga ormas moderat, masih menggunakan kacamata hukum dan hitam putih. Cara-cara pembubaran pengajian, pemboikotan tokoh agama tertentu, dan pelarangan tabligakbar, dan sebagainya perlu dilakukan dengan cara-cara yang tidak frontal.
Sebab, jika dilakukan dengan cara-cara frontal akan terjadi permusuhan, polarisasi, dan konflik horizontal sesama anak bangsa. Akibatnya, eksklusifitas dan semangat sektarian terhadap kelompoknya menguat. Strategi api dibalas api, perlu ditinggalkan. Kita perlu kembali budaya, yang melarang sesuatu tanpa ada perasaan bahwa mereka dilarang.
Untuk itu, kerja-kerja silaturrahmi, saling kunjung, bikin pertemuan dan dialog bersama perlu dilakukan oleh pemerintah dan ormas-ormas moderat, semisal NU dan Muhammadiyah.Kita perlu membaur, bukan menjauh dan menghakimi mereka.Pendekatan yang lebih soft jauh lebih berhasil ketimbang dengan pendekatan hukum yang kaku.
Strategi kebudayaan ini sudah pernah dipaketkan dengan bagus oleh Gus Dur. Meskipun berbeda pendapat dan ideologi, Gus Dur dengan senang hati bisa berkunjung dan silaturrahmi dengan kelompok atau negara yang dianggap sebagai ‘musuh.’Gus Dur dengan senang hati mau berkunjung ke Israel dan mau bersilaturrahmi dengan FPI.Sebab, bagi Gus Dur pendekatan seperti itu sangat efektif.
Dalam hal pelarangan ideologi khilafah ini, strategi budaya yang merangkul itu bisa menjadi prioritas pemerintah dan ormas-ormas moderat.Suatu peraturan apabila dilaksanakan ala militeristik tidak akan efektif, perlu melibatkan perasaan, hati, dan emosi pihak yang mau dilarang.
This post was last modified on 25 Agustus 2020 5:46 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…