Faktual

Survei 64% Muslim Indonesia Setuju Syariat Islam Menjadi Hukum Negara, Bagaimana Menyikapinya?

Hasil survei terbaruĀ  Pew Research Center menemukan 64 persen masyarakat muslim Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara. Survei ini dikumpulkan mulai Juni hingga September 2022 dengan melibatkan 13.122 responden dari enam negara Asia yang dipilih dengan desain sampling berbasis probabilitas.

Khusus untuk responden Indonesia pengambilan data dilakukan melalui wawancara langsung bersama responden. Selain itu, pengambilan data juga dilakukan di bawah supervisi dan konsultasi dari berbagai pihak seperti pakar, pengamat, akademisi dengan melalui wawancara mendalam maupun membentuk kelompok diskusi di beberapa negara Asia.

Hasilnya, ditemukan bahwa 64 persen masyarakat muslim Indonesia setuju syariat Islam dijadikan sebagai hukum negara. Mayoritas muslim Indonesia juga menyatakan hal serupa pada survei yang pernah dilakukan Pew Research Center pada 2011-2012 lalu. Yakni, setuju syariat Islam atau hukum Islam dijadikan sebagai hukum sah negara Indonesia.

Berbahaya bagi Kesatuan Indonesia?

Temuan Pew Research Center (2023) ini memang baru sekadar opini atau aspirasi masyarakat secara umum. Namun, perlu digaris bawahi bahwa, meski hanya sebatas aspirasi atau opini publik, namun aspirasi atau opini terbilang cukup berbahaya. Lebih-lebih jika aspirasi itu ditindaklanjuti untuk dalam upaya nyata dengan mengubah dasar negara, misalnya.

Bahaya menjadikan Syariat Islam sebagai hukum negara adalah isu yang memicu berbagai kontroversi dan perdebatan dalam konteks modern. Meskipun bagi beberapa pihak langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai agama dan moralitas dalam masyarakat, terdapat serangkaian bahaya potensial yang harus diperhatikan secara cermat.

Pertama, menjadikan syariat Islam sebagai hukum negara dapat membuka pintu bagi ketidaksetaraan hak dan diskriminasi. Syariat Islam, dalam interpretasi yang lebih ketat atau konservatif, dapat mengakibatkan perlakuan yang tidak adil terhadap minoritas agama dan kelompok-kelompok lain yang mungkin dianggap berlawanan dengan ajaran Islam.

Kedua, menjadikan syariat Islam sebagai hukum negara dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik yang serius. Interpretasi yang berbeda-beda tentang Syariat Islam bisa memicu konflik internal di negara dan mengganggu kehidupan sosial yang damai. Perselisihan atas pengertian dan penerapan Syariat dapat menciptakan ketegangan politik.

Ketiga, menjadikan syariat Islam sebagai hukum negara dapat menciptakan konflik antaragama. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman agama dan budaya. Meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim, ada juga komunitas Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama minoritas lainnya. Karena itu, jika syariat Islam dijadikan sebagai hukum negara maka jelas hal itu akan menciptakan ketegangan dan konflik antaragama.

Keempat, menjadikan Syariat Islam sebagai hukum negara bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi didasarkan pada kedaulatan rakyat dan pluralisme politik. Jika hukum agama mendominasi, ada risiko bahwa pandangan minoritas akan ditekan dan hak-hak mereka diabaikan. Ini bisa merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi yang dianut Indonesia.

Perlu Disikapi secara Serius

Karena itu, temuan Pew Research Center yang menemukan banyaknya muslim Indonesia setuju syariat Islam menjadi hukum negara itu harus disikapi secara serius. Baik oleh pemerintah, lembaga pendidikan, dan maupun lembaga swasta. Sebab, jika aspirasi opini itu dibiarkan berkembang liar, keberadaannya bisa menimbulkan ancaman serius dan fatal.

Baik pemerintah, lembaga swasta, maupun ormas-ormas keagamaan lainnya harus bergandengan tangan dalam hal ini, melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Bahwa menjadikan syariat Islam sebagai hukum negara bukanlah terbaik untuk bangsa ini. Sebaliknya, justru jalan berbahaya dan penuh konsekuensi buruk.

This post was last modified on 15 September 2023 2:20 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Mengembalikan Kohesi Sosial Pasca Pilkada

Di desa tempat tinggal saya, ada pameo begini "pemilihan lurah/kepala desa itu bisa bikin dua…

2 jam ago

Peluang Rekonsiliasi Pasca Pilkada 2024, Belajar dari Kasus India

Di beberapa negara multikultur, fenomena intoleransi agama yang mengarah pada konflik sering kali menjadi ancaman…

3 jam ago

Pentingnya Toleransi dan Moderasi Pasca-Pilkada

Indonesia, dengan beragam suku, agama, dan budaya, adalah sebuah mozaik kebhinekaan yang indah. Namun, dinamika…

3 jam ago

Ketika Kontestasi Politik menjadi Segregasi Sosial di Tengah Bayang-Bayang Kelompok Transnasional

Indonesia sedang memasuki periode penting dalam demokrasinya dengan pelaksanaan Pilkada serentak. Momentum ini menjadi arena…

3 jam ago

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

1 hari ago

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

1 hari ago