Categories: Kebangsaan

Syariat itu Bernama Pancasila

Sejak masih berada dalam konsep pikiran para founding fathers, Indonesia diarahkan sebagai negeri yang nyaman bagi kehidupan beragama. Puncak cita-cita itu terwujud dalam bentuk sila pertama dasar negara Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini merupakan kesadaran alam bawah sadar kolektif bangsa yang sudah ada sejak zaman nenek moyang ratusan tahun yang lalu.

Di masa silam sejarah masuknya Islam di bumi Nusantara, tak bisa dipungkiri merupakan kebijaksanaan Majapahit yang membebaskan keragaman agama masuk ke bumi Nusantara. Bahkan dikisahkan, atas nama kerajaan Raja Majapahit Pamungkas Brawijaya V saat masih menjadi ‘Gubernur’ di Kraton Keling (Pare Kediri sekarang) dan beragama Siwa Buda mengundang secara resmi Bong Swie Hoo untuk mengajar dan menjadi Pandhito utama Islam di tanah Jawa. Di kemudian hari nama Bong Swie Hoo lebih dikenal sebagai Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Kisah kearifan beragama seperti contoh di atas bukan pertama kali atau barang satu-satunya yang pernah terjadi di Nusantara. Karena memang nampaknya bangsa ini telah dianugerahi Tuhan kearifan yang luar biasa untuk memahami orang lain, terutama memahami perbedaan agama. Dengan demikian sila pertama Pancasila merupakan refleksi dan dokumen abadi tentang bagaimana bangsa ini menghayati nilai keagamaan.

Agama apapun diperbolehkan hidup di bumi Nusantara. Para pemeluknya bebas beribadah sepuas-puasnya. Inilah kesepakatan kolektif dan lahir dari alam bawah sadar bangsa Indonesia. Meskipun seandainya kesadaran itu tidak terdokumentasikan dalam naskah Pancasila, sikap itu pasti tetap ada karena memang sudah melekat.

Di era awal kemerdekaan, para ulama tak ketinggalan berperan meyakinkan umat bahwa Pancasila yang jadi dasar bernegara merupakan cermin dari syariat Islam. berdasarkan sejumlah referensi kitab fikih, seperti Buhgyah Musrtasyidin misalnya, ulama Nusantara bersepakat menyebut Indonesia sebagai negeri darussalam dan presiden adalah pemegang kekuasaan sah atas nama agama (waliyul amri al-dharuri bi asy-syaukah).

Alasan argumen tersebut sederhana, Indonesia dengan Pancasila-nya dirasa telah mengayomi kepentingan umat Islam. Di negeri Pancasila semua orang bebas beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihan sadarnya. Ritual keagamaan apapun, seperti adzan, sholat, puasa, ataupun pernikahan dibebaskan tanpa adanya halangan. Bahkan, dalam banyak kasus negara mengakomodir kepentingan beragama umat Islam lewat aturan perundang-undangan, seperti UU Zakat, Wakaf, Haji, dan sebagainya.

Dengan menjadikan Indonesia Pancasila sebagai negeri Darussalam, maka upaya perlawanan terhadap negara dan ideologinya menjadi tak beralasan dalam agama. Para ulama sepakat mengganggu kedaulatan dan ideologi negara (Indonesia dan Pancasila) dalam pandangan hukum Islam dapat dikategorikan sebagai bughat (pemberontakan). Dan para pelaku bughat dapat diperangi atau diberi hukuman mati oleh negara, karena dianggap membahayakan keselamatan bangsa.

Tak juga bisa dipungkiri bahwa ada saja segelintir kecil kelompok orang yang menutup nalar bawah sadarnya dengan menggantinya dengan nalar lain yang bertolak belakang dari kesepakatan itu. Mereka justru menganggap penindasan beragama pada kelompok lain sebagai bagian dari hal utama, dan atas nama agama penindasan itu dianggap benar.

Penindasan agama bisa dilakukan dengan cara-cara yang lazim seperti memaksa orang lain mengikuti orientasi pemikiran tertentu. Bagi mereka yang bertolak belakang bisa disebut kafir atau berdosa. Penindasan juga bisa dilakukan dengan mencegah atau menjauhkan orang lain untuk melakukan peribadatan.

Memaksa orang lain berjilbab misalnya, dengan cara-cara intimidasi adalah bagian dari bentuk kekerasan dan penindasan atas nama agama. Demikian pula sebaliknya, melarang orang berjilbab adalah bentuk lain penindasan dan kekerasan. Karena sudah jelas tertera dalam kontitusi Indonesia jaminan kebebasan ekspresi keagamaan.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan tunduk pada konstitusi negara seseorang dapat dianggap telah ingkar pada agamanya? Tentu saja tidak, karena patuh pada konstitusi merupakan bagian dari perintah agama. Bukankah umat Islam memang diminta patuh pada kepemimpinan yang dalam konteks kekinian disebut dengan negara?! Apalagi prinsip-prinsip syariah Islam sudah jelas termaktub dalam konstitusi, seperti kebebasan beragama yang dikenal dengan hifdzu al-Din.

Karena itu semestinya tidak lagi ada alasan bagi siapapun di negeri ini yang membenarkan memaksa atau melarang orang lain meyakini keberagamaannya. Dengan catatan, selama keberagamaan yang ia praktekan tidak mengganggu atau merusak ekspresi keberagamaan orang lain atau berdampak buruk bagi kehidupan sosial. Kalau sudah punya dampak merusak, maka tak ada jalan lain selain negara mengambil sikap tegas.

This post was last modified on 30 September 2016 5:51 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Idul Fitri dan Moderasi dalam Bingkai Budaya Lokal

Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri sebagai momen yang penuh makna…

2 jam ago

Ekspresi Kearifan Lokal Lebaran Masyarakat Kampung Lempuyangan

Diantara tradisi lokal di saat lebaran di Kampung Lempuyangan Yogyakarta yang masih dipertahankan hingga kini…

2 jam ago

Pasemon dan Islam dalam Intaian

Wong Jawa nggone semu Sinamun ing samudana —Serat Wedhatama   Terdapat sebuah lelucon tentang perempuan…

2 jam ago

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

2 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

2 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

2 hari ago