Keagamaan

Tadarus Al-Qur’an di Bulan Ramadhan dalam Merefleksikan Ayat-Ayat Rahmatan Lil Alamin

Di bulan suci Ramadhan, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa sekaligus dianjurkan untuk tadarus Al-Qur’an. Mengapa? Karena di bulan inilah, Al-Qur’an diturunkan, sebagai  cahaya Islam rahmatan lil alamin bagi umat manusia. 

Seperti dalam sebuah potongan ayat (Qs. Al-Baqarah:185) “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah

Jadi, di sinilah pentingnya mengombinasikan semangat puasa dengan semangat tadarus Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Guna merefleksikan ayat-ayat yang rahmatan lil alamin itu. Agar, laku perdamaian, toleransi, tebar cinta-kasih dan menjaga kebersamaan serta menghindari perpecahan dipahami/diyakini sebagai kebenaran yang sakral dan tak boleh diganggu-gugat.

Tadarus Al-Qur’an tentunya tak sekadar membaca. Tetapi juga membangun paradigma di dalam (merenungi/mendalami/mempelajari) setiap ayat Al-Qur’an yang kita baca. Sehingga, kita akan menemukan satu keyakinan teologis, bahwa keragaman itu pada hakikatnya dibenarkan di dalam Al-Qur’an yang penuh rahmat. 

Di sinilah yang Saya sebut sebagai tadarus keragaman di bulan suci Ramadhan. Mengungkap fakta-fakta ayat yang ada di dalam Al-Qur’an. Menelusuri dan mempelajari, bagaimana posisi keragaman dalam konteks beragama, dalam konteks sosial-kemanusiaan dan dalam konteks kebangsaan. 

Sebab, begitu banyak ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang keragaman. Seperti dalam satu contoh, jika kita sedang tadarus Al-Qur’an dan sampai pada bagian (Qs. Al-Ma’idah). Cobalah perhatian dan renungkan ayat:48 itu. Di situ begitu jelas-terang-benderang bahwa tidak ada keniscayaan yang bersifat klaim eksklusif atas agama-agama selain Islam. 

Sebagaimana: “Dan kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. 

Ini adalah satu potongan ayat yang kalau kita tadarusi, niscaya kita akan mendapatkan titik-terang secara teologis. Bahwa, keragaman itu adalah sunnatullah dan tidak saling mengganggu serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Itu merupakan satu paradigma bagaimana keragaman itu dibentuk. Cobalah untuk merenungkan ayat yang saya sebutkan di atas dan tentu begitu banyak ayat lain yang termaktub dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang keragaman. 

Dalam contoh lain, jika kita di bulan suci Ramadhan ini melaksanakan tadarus baca Al-Qur’an lalu sampai pada (Qs. Al-Baqarah). Cobalah pahami, cermati, pelajari dan temukan kebenaran dari ayat:114 yang menjelaskan mengapa kita dilarang merusak simbol/rumah ibadah agama lain serta larangan sikap intolerant. 

Qs. Al-Baqarah:114 pada dasarnya mengikat kita ke dalam satu prinsip hukum keharaman merusak, menghina, menghancurkan apalagi mendatanginya melakukan kezhaliman membuat kekacauan. Al-Qur’an mengistilahkan orang zhalim dan tentu akan mendapatkan siksaan di akhirat yang berat bagi para pelaku intolerant itu. 

Kemutlakan larangan itu juga disebutkan bahwa rumah ibadah agama lain sama halnya dengan Masjid. Hal ini termaktub dalam Qs. Al-Isra:1&7 karena secara fungsional mengacu terhadap prinsip yang dibenarkan dalam Qs. Al-A’raf:31. Korelasi etis sebagai rumah ibadah tentu ada bentuk pelarangan bagaimana keharaman melakukan aksi intoleransi atas agama lain itu, di mana Tuhan disebut di dalamnya. 

Semua keragaman agama, suku, budaya, etnis dan bahasa yang kita miliki merupakan sebuah kemutlakan yang dibenarkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana, tadarus Al-Qur’an di bulan suci Ramadhan itu perlu mengacu ke dalam kualitas diri untuk mendalami, memahami dan mencari pemahaman di balik apa yang kita baca berulang-ulang kali sampai selesai. 

Hikmah, barakah dan kemuliaan Al-Qur’an yang kita baca tak sekadar tentang pijakan spiritual kita dalam beragama. Tetapi, menjadi pijakan kita dalam membangun kehidupan sosial di tengah keragaman untuk menebar rahmat untuk saling menghargai. Maka di sinilah pentingnya tadarus Al-Qur’an di bulan suci Ramadhan untuk merefleksikan ayat-ayat rahmatan lil alamin

Saiful Bahri

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

21 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

21 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

21 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago