Hoaks alias kabar palsu sebenarnya bukan fenomena baru. Kabar palsu sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan di era Nabi Muhammad Saw. Bahkan, tidak tanggung-tanggung kabar palsu itu menyasar Aisyah, putri Rasulullah sekaligus putri Abu Bakar al Shidiq. Kisah ia diterpa kabar palsu atau lebih tepatnya fitnah itu termuat dalam Alquran Surat An Nur ayat ke-11.
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”.
Lazimnya ayat Alquran, ayat ini pun turun bukan tanpa sebab. Menurut mufassir Fakhruddin al Razi, asbabun nuzul ayat ini terkiat dengan peristiwa fitnah yang menimpa istri Rasulullah, Aisyah. Dikisahkan bahwa salah satu kebiasaan Nabi ketiga pergi adalah mengajak salah satu istrinya. Siapa yang diajak pergi ini berdasarkan undian.
Kala itu, Rasulullah akan pergi dalam rangka peperangan Bani Musthaliq, dan Aisyah terpilih sebagai istri yang menemani Nabi Muhammad. Menurut Al Tsa’alabi, peristiwa perang Bani Musthaliq ini terjadi pasca turunnya ayat perintah hijab. Maka, kepergian Aisyah menemani Rasulullah pun menggunakan tandu. Lantaran badan Aisyah yang kecil, maka para pemikul tandu itu tidak bisa membedakan apakah pikulannya ada penumpangnya atau tidak.
Suatu ketika, dalam perjalanan Aisyah memutuskan istirahat dan buang air. Namun, seselesainya buang air, ia jutru tidak mendapati rombongan berikut tandu yang dinaikinya lantaran sudah mendahuluinya pergi. Ia pun memutuskan untuk istirahat dengan harapan ada yang kembali menjemputnya. Dalam kondisi tertidur, datanglah sahabat bernama Sufyan bin Mu’thal yang diperintah Rasulullah untuk mengecek barangkali ada barang berharga tertinggal.
Saat itulah ia menemukan Aisyah yang tengah tertidur. Sufyan pun menyuruh Aisyah naik ke untanya sementara ia sendiri berjalan menuntun unta tersebut. Kejadian inilah yang menimbulkan desas-desus. Muncul tudingan Aisyah berbuat zina dengan Sufyan. Bahkan, ketika bertemu rombongan, sambutan Rasulullah pun tidak seperti biasanya. Aisyah akhirnya memutuskan untuk tinggal sementara di rumah orang tuanya. Dalam masa “pengasingan” inilah Aisyah jatuh sakit.
Kontekstualisasi Surat An-Nur ayat 11 di Era Kekinian
Surat Annisa ayat ke-11 ini memuat dua pesan penting. Pertama, Aisyah tidak bersalah dan berita yang berkembang tidak lain hanyalah fitnah belaka. Kedua, ancaman peringatan tegas pada siapa pun yang membuat dan menyebar berita palsu.
Tanpa ayat ini, sebenarnya ada sejumlah pendekatan untuk membaca desas-desus tentang Aiyah dan Sufyan itu. Fakhruddinar-Razi dalam Mafâtih al-Ghaib misalnya menjelaskan bahwa tanpa dibantah melalui ayat, tampak jelas bahwa Aisyah (dan Sufyan) tidak berzina. Ada tiga argumen yang dikemukakan Razi.
Pertama, fakta bahwa Aisyah adalah istri Nabi dan memiliki sifat ma’shum (terjaga dari kesalahan). Kedua, rekam jejak Aisyah yang bersih dari perbuatan tercela, apalagi zina. Ketiga, desas-desus itu pertama kali diembuskan oleh golongan munafik.
Surat Annisa ayat ke-11 ini kiranya relavan untuk ditafsirkan ulang dan dikontekstualisasikan di era digital ini. Dalam konteks kekinian, penyebaran berita palsu kian kompleks. Baik dari segi isi, motif, maupun media penyebarannya. Meski demikian, prinsip Surat Annisa ayat ke-11 ini tetap relevan diterapkan untuk menyikapi berkembangnya hoaks.
Pelajaran pertama ialah bahwa Islam sangat mengutuk keras pembuat dan penyebar kabar bohong. Islam tidak menoleransi kabar bohong dan fitnah lantaran dapat menyebabkan pembunuhan karakter individu, bahkan perpecahan dan konflik antar-umat. Pelajaran kedua, jika menyikapi kabar yang masih simpang-siur, ada baiknya kita menelusuri kredibilitas pihak yang pertama kali mengembuskan informasi tersebut.
Seperti dalam kasus Aisyah, kabar palsu itu diembuskan pertama kali oleh golongan munafik yang punya rekamjejak buruk. Di era digital ini, kita harus menelusuri darimana informasi berasal; apakah dari media kredibel atau abal-abal. Pelajaran terakhir, dalam menyikapi segala sesuatu kita hendaknya mengedepankan nalar khusnudzan alias berprasangka baik (positif).
Di era sekarang, prasangka positif dimaknai sebagai tindakan tidak menghakimi sebuah isu atau peristiwa tanpa tahu fakta sebenarnya. Sikap khusnudzan di era digital adalah berusaha mengedepankan sikap tabayyun yakni memverifikasi kebenaran sebuah isu atau peristiwa dengan sikap rasional dan kritis.
This post was last modified on 12 Mei 2023 9:15 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…