Konflik sejatinya memang sebuah keniscayaan. Bukan hanya dilanda oleh negara-negara besar, konflik juga banyak kita jumpai di lingkungan kita dalam kadar besar hingga kecil. Konflik menyangkut banyak hal, seperti bidang sosial, agama, moral, adat istiadat, budaya, dan masih banyak yang lainnya. Salah satu pemicu konflik karena permasalahan agama.
Kenapa agama kerap menjadi pemicu konflik? Sejatinya, agama merupakan ajaran dan nilai yang memberikan panduan untuk kemanfaatan dan perdamaian manusian. Agama lahir untuk membebaskan manusia dari cara pandang yang bisa menyebabkan konflik. Ajaran agama mengeluarkan manusia dari keterkungkungan pikiran dan pandangan yang berpotensi menimbulkan konflik.
Namun, pada kenyataannya kerap kali agama dijadikan bahan dan alat yang menyebabkan konflik antar manusia. Ajaran agama terkadang menjadi pengabsah bagi kekerasan dan konflik komunal yang lebih luas. Salahkah agama?
Agama menjadi pemicu bukan karena ajarannya, tetapi cara umat beragama memperlakukan dan menafisrkan ajaran agama. Lebih tepatnya, ketika agama dipolitisasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok agama akan mudah menjadi pemicu konflik yang sangat besar. Politisasi agama dalam sejarah telah menyebabkan tragedi besar dalam perang dan konflik kemanusiaan.
Ketika agama dipolitisasi, umat beragama menjadi sangat fanatik dan terjebak dalam kungkungan monopoli kebenaran. Konflik terjadi karena banyaknya umat yang terlalu fanatik buta dengan agama yang diimaninya dan kemudian mereka tak segan-segan menyalahkan dan menyakiti manusia lainnya yang dianggap berbeda atau salah dengan pemahaman yang diyakini.
Dengan adanya segelintir golongan atau umat yang memiliki cara pandang inilah pada akhirnya konflik terjadi dan memanas sehingga menganggu keutuhan masyarakat dan negara. Fanatisme, ekslusivisme, ekstremisme lahir dari perilaku politisasi agama. Agama dijadikan tameng untuk pembenaran dalam mencapai tujuan politik. Ajaran agama dijadikan dalil untuk menyalahkan yang lain.
Islam menjadi agama yang kerap mendapatkan fitnah dari perilaku politisasi agama. Dalam konteks di Indonesia, Islam selalu dijadikan alat yang memecahbelah. Politik identitas pun lahir karena Islam selalu dipolitisasi, manipulasi dan diekesploitasi demi mencapai tujuan.
Islam sejatinya agama yang mempunyai visi Rahmatan lil alamin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan apalagi konflik dan perang. Islam adalah agama yang mengajarkan kebaikan dan rahmat tidak hanya bagi umat Islam, tetapi bagi non muslim bahkan untuk seluruh alam.
Di dalam Islam, Rahmat dibagi menjadi dua, yaitu rahmat dalam konteks Rahman dan rahmat dalam konteks Rahim. Rahmat dalam konteks Rahman adalah bersifat meliputi segala hal, sehingga orang-orang non-islam pun punya hak kerahmanan. Kemudian, Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam.
Dalam sejarahnya, Rasulullah membawa misi perdamaian lintas suku, budaya, dan agama. Perjuangan beliau tentunya penuh resiko dengan nyawa taruhannya. Meski nyawa terancam, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk bersabar dan tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Jika terpaksa Rasulullah melakukan perang, maka motif yang mendasarinya tentu saja bukan karena politik, ekonomi, namun perang merupakan cara Rasulullah untuk bertahan dalam penindasan, yang artinya semata-mata dilakukan sebagai jalan menuju perdamaian.
Kita bisa melihat cara beliau memperlakukan tahanan perang dengan baik, masih menghargai Hak Azasi Manusia, dalam perang beliau juga melarang membunuh anak-anak, wanita dan orang tua, tidak boleh menghancurkan rumah ibadah. Dalam perang Rasulullah pun telah mengatur dan memberikan solusi terhadap konflik dan kemanusiaan yang terjadi.
Pada hakikatnya, Islam adalah agama yang membawa misi perdamaian selama ia tidak diperalat untuk kepentingan politik. Namun, ketika Islam dijadikan tameng pembenaran kelompok untuk menghukumi yang berbeda, Islam seolah Nampak menjadi penyebab konflik. Menyelamatkan dan membela Islam sejatinya menyelematkan Islam dari oknum dan para pembajak yang mempolitisasi ajaran Islam.
Kini tahun 2022 tinggal menghitung hari. Dengan berakhirnya tahun 2022 dan lembaran baru 2023 terbuka, diharapkan masyarakat dan umat beragama semakin memahami dan menjadikan agama sebagai peredam konflik bukan malah dijadikan alasan adanya konflik. Cara penting untuk menegaskan hal itu adalah membebaskan agama dari corak dan cara pandang yang mempolitisasi agama.
Masyarakat harus cerdas ketika melihat oknum dan kelompok yang menjadikan agama justru menjadi pembeda untuk memperlakukan manusia saling berhadap-hadapan. Masyarakat harus cerdas ketika melihat cara dan pola pikir kelompok yang ingin menjadikan agama sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan, konflik dan perang terhadap yang berbeda.
This post was last modified on 30 Desember 2022 2:44 PM
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…
Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…
“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…
Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…