Narasi

Tahun Baru dan Ikhtiar Merawat Persaudaraan Kebangsaan

Tahun 2019 sudah berlalu. Kini kita telah memasuki babak baru tahun 2020. Meski begitu, ini bukan berarti kita melupakan hal-hal besar yang terjadi di masa lalu. Karena rangkaian perjalanan hidup setiap manusia hidup adalah konstruksi dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Dan, guru yang paling berharga adalah pengalaman yang notabene hanya terjadi pada masa yang telah lalu. Oleh sebab itu, tidak dapat dimungkiri bahwa karena masa lalulah kita akan semakin tegak dalam menatap masa depan, dan dari setiap kesalahan yang telah berlalu kita perbaiki. Masa lalu kita dijadikan sebagai pelajaran yang paling berharga bagi kita untuk kita jadikan bahan evaluasi guna untuk bangsa Indonesia yang lebih baik.

Dalam konteks tersebut, tentu saja banyak catatan yang harus dievaluasi dari apa yang telah berjalan sepanjang tahun 2019. Pertama, perjalanan tahun politik 2019 yang penuh sesak dengan ujaran kebencian dan politik identitas. Tak ayal, hawa panas begitu terasa jelang dan pasca Pemilu 2019 dan bahkan sampai sekarang. Kadang gesekan-gesekan itu masih juga kental terasa di jagat media sosial meski Pemilu telah selesai dihelat lebih dari setengah tahun lalu. Isu agama yang telah dimainkan jelang Pilpres lalu masih kental mewarnai cara berpikir rakyat di akar rumput. Buktinya, mudah kita jumpai di timeline dan komentar medsos ketika mengkritik pembawa amanah kekuasaan.

Polarisasi tersebut telah mengantarkan pada segregasi sosial yang tak kunjung usai. Ini karena isu agama lebih sulit untuk dipulihkan karena menyangkut paham dan keyakinan seseorang pada agama yang dianutnya.

Kedua, konflik SARA. Masih hangat dalam ingatan kita bahwa dalam kemerdekaan NKRI yang ke-74, kita disuguhkan konflik di Papua oleh karena ungkapan yang dianulir merendahkan salah satu ras yang mendiami Republik Indonesia. Puluhan korban yang telah tewas dalam konflik tersebut. Dan, banyak pula warga yang mengungsi dari tanah konflik. Meski jika ditelusuri lebih jauh, penyebab meluasnya konflik ini bukan semata karena ujaran kebencian yang tersebar luas secara simpang siur di tengah masyarakat, namun juga karena hoaks yang tersebar di medsos.

Baca juga : Merajut Simpul-simpul Ukhuwah yang Tengah Pecah

Melihat itu, tahun baru 2020 yang baru saja datang harus kita sikapi sebagai ikhtiar merawat persaudaraan kebangsaan. Jangan sampai hal buruk yang telah terjadi di masa lalu terulang. Kita harus membuka lembaran baru menyongsong NKRI yang damai, santun dan bersatu dengan ikhtiar-ikhtiar merawat persaudaraan kebangsaan berikut.

Pertama, menguatkan toleransi keagamaan. Data Imparsial menemukan terdapat 31 kasus intoleransi sepanjang tahun 2019 dengan mayoritas kasus adalah pelarangan tempat ibadah. Sementara data Setara Institute terdapat 629 jumlah pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat selama 12 tahun terakhir. Jumlah itu mengalahkan DKI Jakarta yang berjumlah 290 kasus, dan Jawa Timur 270 kasus. Masih adanya praktek intoleransi memperlihatkan manakala potensi ketidakrukunan antar umat beragama masih dapat terjadi.

Serangkaian aksi teror dan kekerasan yang terjadi sepanjang 2019 juga lebih banyak disebabkan oleh radikalisme berbasis keagamaan. Mereka itulah orang-orang yang sama sekali tidak berlomba-lomba berbuat baik kepada sesama melainkan berlomba untuk membela Tuhan dan agama yang sejatinya tidak butuh pembelaan manusia.

Padahal, jelas bahwa beragama dan beribadah adalah hak yang dijamin dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga negara sekalipun tidak boleh melarang kebebasan menjalankan ibadah keagamaan (Paulus Mujiran, 2019). Akan tetapi, mengapa masih saja ada orang yang terjerat doktrin agama yang diplintir sedemikian rupa sehingga memusuhi sesama warga negara yang berbeda keyakinan.

Kedua, bersih-bersih medsos dari hoaks dan ujaran kebencian. Kita pahami bahwa hoaks dan ujaran kebencian begitu marak di jagat medsos sehingga perlu keseriusan dalam menganggulangi hal tersebut. Langkah pertama bisa ditempuh dengan hanya menyebarkan informasi yang jelas kebenarannya dan tidak mengandung unsur provokasi. Selanjutnya, apabila mendapatkan informasi, tabayun selalu lebih diutamakan dibandingkan menyebarkannya ke timeline media sosial. Selanjutnya, apabila menemukan akun terbukti  sebagai penebar kebencian tersebut, segeralah lapor kepada Polisi siber, Kemenkominfo, atau BNPT agar kebohongan dan kebencian tidak segera meluas.

Inilah ikhtiar merawat persaudaraan kebangsaan yang perlu diupayakan dalam mementum tahun baru sekarang secara sungguh-sungguh. Jangan sampai menyesal di kemudian hari karena terjadi perpecahan di tubuh NKRI. Wallahu a’lam.

 

 

 

This post was last modified on 3 Januari 2020 3:22 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago