Narasi

Tahun Politik 2023; Bebas dari Politik Pecah Belah Berkedok Agama

Memasuki tahun politik 2023 bangsa Indonesia sebaiknya belajar dari pengalaman yang lalu. Memasuki tahun politik, munculnya beragam polemik menjadi fenomena tak terelakkan. Tak terhindarkan, kepentingan-kepentingan politik pada biasanya menimbulkan huru-hara dalam pergaulan sosial maupun media sosial.

Tensi dan eskalasi hiruk-pikuk politik mulai menampakkan diri manakala disulut dengan kepentingan kelompok. Tak jarang politik identitas dimainkan, bahkan agama dijadikan kedok untuk membuat teror politik. Situasi sarat emosional rentan terjadi dalam pola permainan politik yang menunggangi agama. Situasi seperti itu menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan berbangsa dalam bingkai kerukunan umat.

Tensi dan eskalasi hiruk-pikuk politik menjadi sangat panas ketika dua kontestan politik muslim dan non muslim berdiri saling berhadapan. Politisasi agama kerap muncul. Seperti politisasi “al Maidah ayat 51” yang diapakai untuk menjustifikasi larangan muslim memilih pemimpin non muslim. Bersamaan dengan hal itu, semua orang sekonyong-konyong menjadi ahli tafsir dan pakar bahasa.

Kecenderungan politisasi surat al Maidah seharusnya tidak perlu terjadi lagi. Itu pengalaman buruk. Karena menurut Al Thabari dalam Tafsir Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ayi al Qur’an, kata “Aulia” dalam surat al Maidah ayat 51 maknanya adalah penolong, saudara dan sekutu/teman setia. Ayat tersebut tidak mengatakan larangan memilih pemimpin non muslim.

Dalam iklim demokrasi memilih calon yang seagama tidaklah dilarang, boleh saja yang penting memiliki kemampuan dan kapabilitas mumpuni. Yang salah, kalau untuk memenangkan calon pilihan menempuh cara-cara yang tidak beradab, seperti menciptakan teror politik dengan kedok agama. Hal ini, disamping tidak manusiawi juga mendistorsi ajaran Islam.

Meneguhkan Komitmen Kebangsaan dan Prinsip Beragama di Tahun Politik

Letupan-letupan emosionalitas seperti yang terjadi di tahun-tahun politik dulu sejatinya berkurang, atau paling tidak bisa diminimalisirkan. Tahun politik hendaknya dimaknai sebagai titik balik rekonsiliasi. Momentum politik hendaknya dijadikan sebagai kekuatan untuk mengantarkan bangsa lebih baik dan lebih maju. Ikhtiar memilih pemimpin seharusnya didasarkan pada pilihan bijak berdasar pada kecakapan dan kemampuan, bukan karena ego sektoral.

Selama ini, disadari atau tidak telah terjadi kontestasi politik yang lebih dominan didasarkan pada kepentingan untuk “kemenangan”, apapun caranya. Oleh karena itu, cara-cara tidak bijak terbiasa digunakan. Hal ini berimbas dikalangan masyarakat pemilih yang kemudian memunculkan perpecahan dikalangan umat dan kehidupan berbangsa.

Kerukunan dan persatuan acapkali terciderai oleh kepentingan kelompok dengan intrik politik oportunis. Termasuk disini adalah politik menggunakan agama sebagai kedok atau politik identitas. Baik Pilpres, Pilkada maupun Caleg, seringkali menimbulkan keributan di masyarakat pendukung. Bukan penggunakan hak untuk memilih atau dipilih, melainkan terjadi pemaksaan pilihan atas nama agama dan identitas yang lain.

Padahal, siapapun akan memaklumi kerukunan merupakan embrio sekaligus modal dasar untuk membangun bangsa yang beradab dan majunya peradaban. Tak ada bangsa yang maju kalau di dalamnya terjadi kekacauan dan pertengkaran antar masyarakat, justru kehancuran yang akan dialami. Kehidupan yang damai, harmonis, aman dan tenteram akan menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju.

Bagi umat Islam, momentum politik hendaknya menjadi spirit untuk menampakkan wajah damai Islam. Menjadikan Islam sebagai kedok politik justru menempatkan Islam menjadi agama yang lepas dari nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin. Umat Islam harus memberikan contoh dengan meninggalkan kampanye negatif.

Para elit politik golongan muslim harus memposisikan diri dalam posisi mengedepankan fikiran dan akal sehat dan tidak menyebarkan isu-isu negatif. Marwah agama harus dijaga. Justru dengan sikap seperti itu dirinya akan lebih dihormati sebagai calon pemimpin yang representatif serta layak dipilih.

Sikap saling mencemooh, saling sikut karena membela calon merupakan sikap yang melanggar norma agama. Disamping itu, polarisasi politik ini berdampak pada retaknya kohesi sosial. Agama Islam sangat melarang prilaku memutus silaturahmi. Beda pilihan politik tidak perlu berakibat pada retaknya bangunan persaudaraan seagama dan sebangsa.

Beginilah semestinya kita memaknai tahun politik. Mengedepankan fikiran dan akal sehat dalam ikhtiar memilih pemimpin. Perbedaan pilihan politik adalah lumrah dan tak perlu dibuat resah. Yang kita perlukan adalah menjaga persaudaraan di tahun politik, bukan menciderai kebhinekaan dengan kampanye negatif, apalagi membuat teror politik dengan kedok agama.

This post was last modified on 5 Januari 2023 1:52 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

5 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

5 hari ago

“Multikulturalitas vis-à-vis Syariat”, Studi Kasus Perusakan Makam

Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini…

5 hari ago

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

5 hari ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

5 hari ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

5 hari ago