Di tengah gejolak global yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan sentimen sektarian yang semakin keras, Indonesia justru menyimpan sebuah harta tak ternilai: bahasa cinta yang diwariskan dari rahim sejarah dan kebijaksanaan lokal. Agama, bukan sekadar sistem kepercayaan normatif, melainkan ruang kultural yang hidup yang penuh narasi welas asih, simpul persaudaraan, dan etika saling memahami.
Warisan asli agama-agama yang hidup di Indonesia, baik agama dunia seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, maupun agama-agama lokal seperti Parmalim, Kejawen, Kaharingan, dan Marapu, tidak lahir dari kebencian atau dogma kaku yang kerap dibawa oleh politik identitas. Sebaliknya, ia tumbuh dari akar welas asih, kedamaian, dan keterbukaan hati. Agama seharusnya tidak berusaha memonopoli kebenaran, melainkan membukakan jalan untuk saling mengenal, saling menyapa, dan saling memanusiakan.
Sayangnya, warisan luhur ini kerap tertutupi oleh kabut ideologi transnasional yang membawa narasi permusuhan dan identitas eksklusif. Agama yang seharusnya menjadi jalan pulang menuju cinta, malah dibajak menjadi kendaraan politik penuh kebencian. Padahal, para leluhur bangsa ini telah jauh-jauh hari mengajarkan bahwa kebenaran tidak bisa dipaksakan, dan cinta tak pernah lahir dari kebencian.
Dalam khazanah budaya Jawa, terdapat satu konsep etis yang menggambarkan jantung dari agama cinta “tepo seliro”. Ungkapan ini secara harfiah berarti menempatkan diri di posisi orang lain. Ia bukan sekadar sopan santun, melainkan prinsip empati yang melandasi relasi sosial, spiritual, dan politik di tengah masyarakat.
Tepo seliro mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi soal rasa. Ia menuntut kita untuk tidak hanya berbuat baik kepada orang lain, tetapi terlebih dahulu memahami apa yang dirasakan orang lain. Cinta bukan perasaan sentimentil yang pasif, melainkan tindakan aktif untuk merangkul, menyembuhkan, dan memuliakan sesama manusia.
Ketika kita menerapkan tepo seliro dalam kehidupan beragama, kita sedang mengeja cinta dalam bentuk paling otentik yakni empati. Kita tidak hanya menghafal teks-teks suci, tetapi merasakannya dalam relasi harian seperti di jalanan, di rumah, di tempat kerja, dan di dunia maya.
Semangat Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar jargon politik kenegaraan, melainkan refleksi mendalam dari jiwa Nusantara yang memandang perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman. Agama cinta menemukan pijakan historisnya sejak era Majapahit, leluhur bangsa ini telah mempraktikkan inklusivitas spiritual, bukan melalui asimilasi paksa, tetapi melalui dialog yang penuh welas asih. Pandangan Mpu Tantular menembus batas sektarian, menegaskan bahwa kebenaran tidak tunggal dalam bentuk, namun satu dalam esensi: cinta yang menyatukan.
Melalui Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia diwarisi etika hidup berdampingan yang luhur, di mana keberagaman menjadi mozaik kekayaan batin, bukan pemisah. Prinsip ini sejatinya adalah formalisasi dari agama cinta, bahwa di balik rupa, ritus, dan sebutan Tuhan yang berbeda, ada satu nilai yang mempersatukan umat manusia ialah kasih. Maka, mempertahankan keberagaman bukan sekadar kewajiban konstitusional, tetapi juga tindakan spiritual. Dalam setiap langkah menuju harmoni, kita sedang menghidupkan kembali pesan abadi Mpu Tantular: bahwa cinta adalah fondasi dari persatuan yang sejati.
Dalam syair, kidung, dan doa-doa para mistikus Nusantara, kita menemukan tafsir cinta yang dalam dan subtil. Para sufi Jawa, misalnya, mengajarkan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai ciptaan-Nya. Dalam ajaran Sunan Kalijaga, laku spiritual bukan hanya urusan ritual, melainkan bagaimana kita menebar kasih sayang kepada semesta.
Kidung-kidung spiritual yang tersebar dari Suluk Wujil hingga tembang-tembang Bali mengandung pesan bahwa kedamaian sejati bukan hasil dari kemenangan atas orang lain, tetapi kemenangan atas ego dan kesombongan diri. Ketika agama diajarkan sebagai jalan cinta, maka tak akan ada kekerasan atas nama Tuhan. Tak akan ada pengucilan atas nama kesucian. Sebab cinta tidak pernah mengusir, ia memanggil pulang.
Ketika Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, ia sesungguhnya sedang menyuarakan bahwa agama seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah. Maka tafsir atas sila ini harus senantiasa dikembalikan pada nilai cinta dan penghargaan terhadap sesama manusia.
Indonesia sebagai negara-bangsa yang plural tidak akan bertahan jika setiap warganya hidup dalam cangkang keagamaan yang sempit dan penuh curiga. Namun Indonesia akan selalu menemukan harapan jika setiap warganya berani mengeja kembali nilai-nilai cinta, dari kidung spiritual hingga laku sosial yang saling menghargai.
Kita tidak kekurangan ajaran cinta di negeri ini. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menyulam kembali jejak-jejak cinta yang mulai kabur oleh hasrat dominasi dan ekspresi keagamaan yang keras. Agama cinta bukanlah agama baru. Ia adalah ruh yang selalu hidup dalam napas sejarah Nusantara. Kita hanya perlu mendengarnya kembali, menjadikannya bahasa bersama, dan mewujudkannya dalam tindakan nyata.
Di tengah pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi, generasi muda saat ini hidup dalam era yang…
Di dalam Islam, Tuhan (Allah) memiliki 99 nama untuk merepresentasikan sifat-sifat-Nya. Itulah yang disebut Asmaul…
Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Banda Aceh oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror…
Menurut sebagian Muslim, Fathu Makkah dilihat sebagai upaya hegemoni ofensif oleh umat Islam di daerah…
Walisongo adalah tokoh-tokoh besar yang tidak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa, tetapi…
Di awal bangkitnya era modern, muncul ramalan bahwa agama akan mulai ditinggalkan oleh manusia. Salah…