Narasi

Terang Akal dan Guyub di Jagat Maya

Pew Research Center pernah melakukan survey dengan tema “The Political Environment on Social Media”.  Meskipun survey ini dilakukan terhadap usia dewasa di Amerika Serikat, tetapi hasilnya sangat relevan dibandingkan dengan kondisi di Indonesia. Survey tersebut diselenggarakan sejak 12 Juli-12 Agustus 2016. Hasilnya, 20% pengguna media sosial menyukai postingan dan diskusi dengan isu politik. Sementara 37% tidak menyukai tentang postingan dan diskusi mengenai politik. Sementara 41% menganggapnya biasa saja.  Hasil lainnya yang ditemukan, saat berdiskusi mengenai isu politik dengan pihak yang berseberangan, 35% menganggapnya menarik dan memberikan informasi. Sementara 59% merasa tertekan dan membuat frustasi.

Survey pun menunjukan, 53% menganggap diskusi di media sosial kurang menghargai pihak lain dibanding diskusi politik dengan media yang lain, 5% merasa lebih menghargai dan 39% menganggapnya sama saja. Terkait solusi yang dihasilkan melalui diskusi politik di media sosial, 51% merasa kurang menghasilkan solusi, 5% menghasilkan solusi, dan sisanya sama saja. Terkait kemarahan di media sosial, 49% merasa diskusi politik di media sosial menimbullkan rasa marah, 6% menganggap kurang menyebabkan kemarahan, dan 43% merasa sama saja dengan tempat lain (hasil lengkap bisa dibaca di www.pewinternet.org).

Paparan di atas sungguh bersesuaian dengan apa yang kita alami saat ini. Setiap detik, kita dihujani dengan beragam isu panas yang sebagian besar sekedar debat kusir saja. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dunia maya yang memberi ruang kebebasan berekspresi secara maksimal. Kini, siapapun bebas berbicara dan berpendapat. Mulai dari profesor, ibu rumah tangga, mahasiswa, pengangguran, dsb. Semuanya bisa berinteraksi dengan pihak lainnya.

Pada satu sisi ini adalah hal yang sangat positif karena membuat manusia setara (egaliter). Akan tetapi di sisi lain, keterbukaan interaksi ini ternyata kerap membuat memudarnya nilai kecerdasan, kesantunan, dan etika dalam berkomunikasi. Alih-alih saling menghormati dan menghargai, perilaku saling hujat lebih dominan dipertontonkan. Satu isu biasa bisa mengalami ekskalasi menjadi isu besar dan cenderung liar.

Untuk menangkal hal tersebut, masyarakat wajib menunjukan sikap cerdas, santun, dan damai di dunia maya. Sikap cerdas adalah kemampuan untuk memilih dan memilah informasi yang datang kepada kita. Saat mendapatkan informasi, misalnya melalui sosial media, maka harus ditelusuri kebenaran informasinya. Dari mana sumbernya? Siapa penulisnya? Bagaimana muatannya? Apa dampaknya? Dan sebagainya.

Begitu pun saat mencari informasi di internet, kita harus pintar mencari pengetahuan yang benar. Tidak asal-asalan mengklik situs-situs yang kurang kredible dan tidak bisa dipertanggungjawabkan isinya. Sekarang, beragam informasi bisa dimanipulasi untuk memperkeruh suasana. Misalnya di medsos, pencatutan nama kalangan intelektual dan agamawan sudah jamak dilakukan. Hal itu dilakukan oleh pihak-pihak iseng yang tidak bertanggungjawab. Maka sebelum mengkonsumsi informasi, lakukan cross-check terlebih dahulu.

Sementara sikap santun adalah perilaku halus dan tenang ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya saat memposting sesuatu di facebook, gunakan informasi yang sopan dan tidak menyerang pihak lain. Boleh saja mengkritik, tapi gunakan statemen yang baik. Begitu pun saat kita ingin berkomentar di wall facebook orang lain. Gunakan kalimat yang bisa diterima oleh semua pihak. Berbeda pandangan dan preferensi politik itu biasa, tetapi tidak perlu sampai marah-marah dan memaki pihak lain. Begitu pun juga jika tidak sepakat dengan pikiran seseorang, tidak perlu menjelek-jelekan dan menistakannya.

Adapun sikap damai di dunia maya adalah kemampuan untuk menganggap pihak lain sebagai sahabat dan tidak menunjukan permusuhan. Kemampuan ini tampak mulai diabaikan pengguna internet. Ketimbang mengumbar ajakan perdamaian, banyak diantara peselancar dunia online yang memilih menebar permusuhan. Padahal jika informasi negatif itu dibiarkan, secara tidak sadar, akan terinternalisasi dalam diri kita. Hal itu kemudian bisa berubah menjadi tindakan nyata.

Konflik juga mudah tersulut pada orang yang pikiran dan hatinya sudah diselimuti dengan hal buruk. Nah, kekhawatiran ini sangat berbahaya bagi keutuhan masyarakat. Maka perlu dicegah sedini mungkin. Dalam konteks ke-Indonesiaan, jika sikap cerdas, santun, dan damai selalu dikedepankan, niscaya akan makin mengokohkan pondasi persatuan antar anak bangsa. Sehingga pintalan kebhinnekaan pun selalu rekat.

This post was last modified on 6 Desember 2016 1:15 PM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

2 hari ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

2 hari ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 hari ago