Narasi

Terorisme, Separatisme dan KKB Papua

Beberapa waktu lalu, pemerintah secara resmi menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua (KKB Papua) sebagai organisasi terorisme. Penetapan ini dilakukan setelah melalui sejumlah kajian dan pertimbangan. Antara lain dampak destruktif dari praktik kekerasan yang dilakukan KKB Papua yang dirasakan oleh masyarakat. Juga praktik kekerasan yang kian masif, terstrktur dan sistematis. Banyak pihak dan kalangan menganggap keputusan pemerintah melabeli KKB Papua sebagai terorisme ini sangat tepat.

Pengamat terorisme dari Departemen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar dalam sebuah wawancara dengan media massa menyebut bahwa keputusan pemerintah melabeli KKB Papua sebagai terorisme sudah sangat tepat. Chaidar bahkan menilai seharusnya hal ini dilakukan sejak dulu, karena sepak terjang KKB Papua yang sudah memenuhi kriteria sebagai aksi terorisme. Chaidar menyebut, labelisasi KKB Papua sebagai teroris akan berdampak pada sejumlah hal.

Pertama, munculnya kesadaran publik bahwa apa yang dilakukan KKB Papua bukanlah gerakan sosial-politik, merupakan gerakan terorisme yang mengancam keamanan publik. kedua, labelisasi ini akan membuka mata dunia internasional bahwa KKB Papua ialah kelompok kriminal bukan pejuang kemerdekaan. Terakhir, palebelan ini akan membawa konskuensi logis, yakni bahwa siapa pun pihak yang mendukung KKB Papua, termasuk para aktivis kemanusiaan dan pejuang HAM sebagai pembela teroris(me).

Glorifikasi Separatisme?

Separatisme di Papua bukan fenomena baru. Gerakan ini sudah muncul sejak dulu, dimulai dari zaman kepemimpinan Presiden Sukarno. Berbagai kelompok separatis silih-berganti bermunculan. Isu yang diusungnya sama, yakni kemerdekaan rakyat Papua dari pemerintah Indonesia. Kaum separatis berusaha membangun narasi bahwa pemerintah Indonesia selama ini menindas masyarakat Papua. Saat ini, KKB Papua yang paling sering menebar teror ialah kelompok Benny Wenda yang bermarkas di Distrik Nduga, Papua Barat.

Sejumlah aksi kekerasan dan teror kerap mereka lakukan. Mulai dari menembaki aparat Polri dan TNI. Membunuh guru, pekerja, dan masyarakat umum. Hingga membakar berbagai fasilitas umum. Dari berbagai tindak kekerasan yang masif, sistematis dan terstruktur itu, pantas kiranya KKB Papua dilabeli sebagai terorisme-separatisme.

Ironisnya, masih banyak pihak yang menolak kebijakan pemerintah dan justru membela kekerasan yang dilakukan KKB Papua dan mem-framing-nya seolah-olah sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan. Hal ini terlihat dari sikap sejumlah pihak yang mendaku diri sebagai aktivis HAM atau kemanusiaan yang selalu mengamplifikasi isu Papua di dunia internasional. Mereka “menjual” isu Papua untuk mendeskreditkan pemerintah Indonesia.

Peluncuran Perpres RAN PE pekan lalu oleh Wapres Ma’ruf Amin kiranya bisa menjadi awal lahirnya kesadaran baru bahwa segala bentuk terorisme, termasuk yang berbasis separatisme merupakan musuh bersama. Seluruh komponen bangsa harus bersatu padu mencegah ideologi anti-kebangsaan, mulai radikalisme, separatisme, ekstremisme dan terorisme. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi dan berkolaborasi untuk menutup ruang gerak kelompok teroris, baik yang berlatar ideologi agama maupun yang berlatar agenda separatisme.

Tiga Peran Masyarakat Sipil

Setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan masyarakat sipil dalam mencegah terorisme-separatisme KKB Papua ini. Langkah pertama ialah dengan melawan segala narasi yang berusaha menggolorifikasi kekerasan yang dilakukan oleh KKB Papua. Sebagaimana kita tahu, upaya mempahlawankan kelompok KKB Papua ini cukup gencar dilakukan sejumlah pihak, utamanya melalui media sosial. Propaganda yang masif ini bukan tidak mungkin akan membalikkan persepsi publik, baik nasional maupun internasional, tentang sepak-terjang KKB Papua yang tidak jauh dari kekerasan dan teror.

Langkah kedua ialah membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan di lingkungan internal masing-masing untuk mengidentifikasi setiap timbulnya gejala radikalisme dan terorisme. Sekali lagi perlu disampaikan bahwa terorisme, baik berlatar agama maupun separatisme tidak muncul tiba-tiba. Terorisme selalu berproses dari gejala awal yang ringan, naik ke level menengah lalu memuncak menjadi tindakan kekerasan destruktif. Disinilah pentingya peran masyarakat sipil dalam mengidentifikasi setiap perubahan perilaku yang potensial mengarah pada terorisme dan separatisme.

Langkah terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah senantiasa merawat spirit kebangsaan di kalangan individu maupun kelompok. Terorisme dan separatisme dipastikan akan tumbuh subur di individu atau kelompok yang tidak menjaga komitmennya pada rasa nasionalisme. Sikap cinta Tanah Air dan komitmen membela negara dari segala anasir ancamannya akan menjadi benteng individu dan kelompok dari paparan virus terorisme-separatisme.

This post was last modified on 25 Juni 2021 5:44 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago