Narasi

Tidak Ada Demokrasi yang Seharga Nyawa

Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di Yogyakarta dan Rusdamdiansyah di Makassar, menjadi pengingat pedih tentang betapa tipisnya batas antara penyampaian aspirasi dan amuk anarki yang menelan korban. Mereka adalah korban ketika kemanusiaan hilang di tengah lautan massa.

Rheza, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Amikom Yogyakarta, memulai malam itu seperti anak muda lainnya. Sebuah janji untuk sekadar “ngopi” bersama kawan di Tugu, bertukar tawa dan cerita.

Namun, takdir menariknya ke dalam pusaran aksi di depan Mapolda DIY. Ia tidak datang untuk bertempur. Ia datang dengan sepeda motor, membawa semangat kaum muda yang peduli. Namun, malam itu, semangatnya disambut oleh kekacauan.

Gas air mata yang menyesakkan, massa yang panik, dan dalam sekejap, Rheza terpisah dari rekannya, terjatuh, dan ditelan oleh chaos yang brutal. Luka-luka di tubuhnya menjadi saksi bisu betapa ganasnya malam itu. Mimpi seorang calon sarjana komunikasi itu padam, bukan di ruang kelas, tetapi di atas aspal yang dingin.

Di sudut lain nusantara, di Makassar, duka serupa terukir atas nama Dandi. Ia bukan mahasiswa, bukan aktivis. Ia adalah seorang pengemudi ojek online, tulang punggung keluarga yang malam itu hanya ingin tahu, hanya ingin melihat apa yang terjadi di kotanya. Dengan ponsel di tangan, ia merekam suasana, mungkin untuk dibagikan kepada kawan atau sekadar menyimpan kenangan.

Namun, di tengah kerumunan yang telah kehilangan akal sehat, rasa ingin tahunya dicap sebagai dosa. Sebuah teriakan paranoid, “Intel!”, menjadi vonis mati baginya.

Massa yang seharusnya memperjuangkan keadilan, justru menjadi hakim, juri, dan algojo bagi sesama rakyat kecil. Dandi tewas bukan oleh aparat, bukan oleh kebijakan, tetapi oleh tangan saudara-saudaranya sendiri yang termakan provokasi buta.

Rheza dan Dandi adalah wajah dari tragedi demokrasi kita. Mereka adalah bukti nyata bagaimana sebuah aksi yang mulia bisa dibajak oleh anarkisme. Rheza menjadi korban dari situasi yang lepas kendali, di mana keamanan dan kemanusiaan tak lagi menjadi prioritas.

Sementara Dandi adalah korban dari paranoia massa, di mana kerumunan telah berubah menjadi gerombolan beringas yang siap memangsa siapa saja yang dicurigai.

Maka, di tengah kepiluan ini, mari kita berhenti sejenak dari segala perdebatan. Mari kita jeda dari saling tuding siapa yang salah dan siapa yang benar. Mari kita katakan satu hal dengan tegas, jernih, dan lantang hingga terdengar di seluruh sudut negeri, TIDAK ADA DEMOKRASI YANG SEHARGA NYAWA MANUSIA.

Tidak ada.

Kita telah terlalu lama terbuai dengan narasi heroik tentang “risiko perjuangan” atau “harga yang harus dibayar”. Hari ini, kita harus menolak dalih itu. Nyawa seorang mahasiswa yang punya mimpi, nyawa seorang pengemudi ojek online yang sedang mencari nafkah, nyawa siapapun jauh lebih suci dan berharga daripada spanduk tuntutan manapun, lebih agung dari kemenangan politik siapapun.

Demokrasi yang sejati bukanlah tentang kebebasan untuk mati di jalanan. Ia adalah tentang jaminan untuk hidup dengan aman, didengar tanpa kekerasan, dan dihormati sebagai manusia. Jika untuk menyuarakan pendapat saja kita harus bersiap kehilangan nyawa, maka ada yang salah secara fundamental dengan cara kita menjalankan demokrasi ini. Sistem yang memakan anak-anaknya sendiri adalah sebuah kegagalan, bukan sebuah perjuangan.

Kita lelah menghitung. Kita letih mendengar ucapan duka yang terasa seperti templat. Kita muak melihat bendera setengah tiang yang berkibar seolah menjadi ritual biasa.

Sudah cukup.

Mau berapa nyawa lagi? Mau berapa banyak lagi ibu yang harus menangis kehilangan anaknya? Berapa banyak lagi kursi kosong di ruang-ruang kelas dan di meja makan keluarga? Berapa banyak lagi masa depan yang harus padam di atas aspal hanya untuk membuktikan bahwa kita adalah negara demokrasi?

Pertanyaan ini bukan lagi sekadar retorika. Ini adalah sebuah jeritan. Jeritan dari bangsa yang lelah menjadikan anak-anaknya sebagai korban.

Ini saatnya kita semua menjadikan keselamatan setiap jiwa sebagai fatwa tertinggi. Sudah saatnya kita menyadari bahwa ukuran keberhasilan demokrasi bukanlah dari seberapa bebas kita bisa berteriak di jalan, tetapi dari seberapa mampu kita menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa meneteskan darah.

Biarlah nama Rheza dan Dandi menjadi yang terakhir. Biarlah duka mereka menjadi pengingat abadi bahwa satu helaan napas manusia lebih berharga dari seluruh panggung politik di negeri ini. Karena demokrasi yang sejati tidak meminta tumbal, ia justru melindungi setiap jiwa di dalamnya.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

1 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

1 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

1 hari ago

Dari Ilusi ke Radikalisasi : Bedah Narasi Khilafah dalam Gerakan Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 7 September 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 minggu ago

Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di…

3 minggu ago

Hierarki Nilai Al-Qur’an: Upaya Menjaga Marwah Teks dan Urgensi Konteks

Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah.…

3 minggu ago