Kelompok radikal-ekstrem seolah tidak pernah kehabisan ide dan cara untuk mengobok-obok negara. Gagal mengganti dasar negara melalui amandemen UUD 1945, mereka memakai cara teror dan kekerasan. Ketika gerakan ekstrem diberangus aparat keamanan, mereka memakai pendekatan lain, yakni mengaburkan sejarah bangsa.
Pengaburan sejarah oleh kaum radikal ini memiliki satu tujuan; membangun persepsi dan keyakinan publik bahwa kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan para ulama dan kelompok Islam. Sekaligus membangun klaim bahwa perjuangan ulama terdahulu bukan sekadar mengusir penjajah, namun juga beragenda mendirikan negara dan kekhalifahan Islam.
Pengaburan sejarah itu berlangsung dengan sistematis dan masif. Tidak hanya melalui ceramah, kelompok radikal juga rajin mencetak buku, bahkan memproduksi film yang berisi pengaburan sejarah bangsa. Jika diamati, setidaknya ada tiga bentuk pengaburan sejarah perjuangan ulama oleh kaum radikal.
Pertama, demonisasi tokoh-tokoh yang berasal dari latar belakang non-muslim. Demonisasi diartikan sebagai tindakan yang menganggap orang atau kelompok lain yang dipersepsikan sebagai lawan atau musuh itu sebagai iblis atau setan yang sepenuhnya jahat dan tidak punya sisi baik. Demonisasi pahlawan ini terjadi pada sosok-sosok pahlawan non-muslim dan pahlawan yang dikenal beridologi kiri (sosialis).
Peminggiran Pahlawan Non-Muslim
Oleh kelompok radikal, para pahlawan yang berasal dari latarbelakang non-muslim dan kelompok kiri itu dilabelisasi dengan berbagai stereotipe. Misalnya, Sukarno yang dicap sebagai kolaborator Jepang yang mendukung kerja rodi dan mempekerjakan perempuan pribumi sebagai budak seks tentara Jepang. Padahal, realitas sejarah tidak menunjukkan fakta tersebut.
Demonisasi ini bertujuan untuk membunuh karakter sehingga masyarakat tidak lagi kagum dan hormat pada sosok pahlawan tertentu. Pembunuhan karakter ini dilakukan kaum radikal untuk membangun persepsi bahwa selain kelompok Islam, tidak ada yang benar-benar berjasa bagi kemerdekaan Indonesia.
Kedua, distorsi sejarah yakni penambahan atau pengurangan fakta dan narasi sejarah dengan tujuan membuat narasi sejarah baru yang berbeda dengan fakta yang terjadi. Distorsi sejarah yang dilakukan oleh kaum radikal ini umumnya mewujud pada tindakan menyembunyikan fakta sejarah yang tidak menguntungkan bagi mereka dan menambahkan fakta sejarah baru yang menyokong kepentingannya.
Fakta sejarah baru itu tentu saja hasil rekayasa yang diklaim sebagai kebenaran faktual. Distorsi sejarah ini misalnya muncul ke dalam narasi yang menyebut bahwa perancang lambang negara, yakni burung Garuda dan pencetus ide merah putih sebagai bendera negara adalah ulama asal Arab keturunan Rasulullah.
Ketiga, delegitimasi sejarah, yakni penyangkalan alias pembatalan sebuah fakta sejarah karena tidak sesuai dengan kepentingannya. Misalnya, sikap kelompok radikal-ekstrem yang tidak mengakui bahwa nama asli Pattimura adalah Thomas Matulessy dan menyusun fakta baru bahwa nama aslinya adalah Ahmad Lusi.
Bagaimana Melawan Pengaburan Sejarah?
Penyangkalan dan pembatalan fakta sejarah yang dilakukan kaum radikal-ekstrem adalah bagian dari upaya mendelegitiasi sejarah bangsa. Mereka seolah ingin menulis ulang sejarah versi mereka yang mendukung agenda ideologis dan politisnya. Menulis ulang sejarah baru dengan menganulir sejarah lama itu tentu sebuah tindakan yang mengancam identitas kebangsaan.
Tiga bentuk pengaburan sejarah oleh kaum radikal itu tentu patut dilawan. Perilaku demoniasi pahlawan yang berlatar belakang non-muslim harus diakhiri. Kita harus membangun kesadaran bahwa kemerdekaan ini diraih atas kontribusi banyak pihak. Termasuk kalangan non-muslim, termasuk etnis Tionghoa.
Demonisasi pahlawan harus dilawan dengan upaya mengenal latar belakang dan identitas sosial-kultural para pahlawan. Dengan begitu, akan terbangun kesadaran bahwa pahlawan tidak hanya berasal dari satu golongan (Islam) saja). Selain itu, kita akan memiliki kesadaran bahwa konsep kepahlawanan itu melampuai sekat keagamaan, kesukuan, atau etnisitas.
Distorsi sejarah harus dilawan dengan penguatan literasi historis kebangsaan. Di titik ini, sejarah harus dipahami secara komprehensif dan kritis. Komprehensif dalam artian bahwa idealnya sejarah dipahami secara menyeluruh alias tidak parsial (sepotong-sepotong). Kritis dalam artian bahwa kita wajib memastikan sumber atau referensi sejarah itu valid dan otoritatif. Artinya, sumber sejarah yang tidak valid dan tidak otoritatif hendaknya tidak dijadikan sebagai referensi.
Terakhir, delegitimasi harus dilawan dengan penyusunan narasi sejarah resmi yang disusun dengan melibatkan sejarawan yang otoritatif. Artinya, ke depan tidak boleh ada lagi narasi sejarah yang simpang-siur. Kita harus memiliki satu referensi sejarah babon yang bisa dijadikan sebagai rujukan resmi dan valid.
Ketiadaan narasi sejarah resmi ini membuat banyak kalangan bebas menyusun narasi sejarahnya sendiri. Acapkali, mereka bukan ahli sejarah, dan hanya berdasar pada sumber-sumber lisan yang tidak verifikatif. Alhasil, narasi sejarah yang muncul pun kerap menyimpang dari fakta yang sesungguhnya.
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…
Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di…
Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan…
Hari Pahlawan adalah momen untuk mengenang dan melanjutkan semangat juang para pahlawan bangsa dalam konteks…
Kita mengenal Bung Tomo, Jenderal Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, Agustinus Adisudjipto, Kapten Pierre Tendean,…
Khalid Basalamah menjadi satu ikon pendakwah salaf nasional yang bisa dibilang cukup kontroversial. Pada 2022,…