Narasi

Tiga Elemen Hijrah; Mental, Spiritual, Sosial

Secara harfiah, hijrah kerap dimaknai sebagai migrasi alias perpindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Yatsrib. Dalam konteks ini, peristiwa hijrah tentu tidak bisa direduplikasi dan hanya terjadi sekali dalam sejarah peradaban Islam. Namun, secara istilah, hijrah juga bisa dimaknai sebagai upaya mentransformasikan diri dari dan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik dan beradab. Ragib al Isfahani, sebagaimana dikutip oleh Musdah Mulia menyebut bahwa makna hijrah mengacu pada setidaknya tiga pengertian.

Pertama, meninggalkan negeri yang penduduknya tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan dosa, akhlak buruk dan syahwat menuju perilaku positif dan maslahat. Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemungkaran dan kemaksiatan menuju kesadaran kemanusiaan dengan jalan mengontrol hawa nafsu. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah.

Dari berbagai pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti hijrah ialah upaya mentransformasikan diri dan masyarakat menuju kondisi yang lebih baik. Setidaknya ada tiga elemen penting dalam hijrah, yakni mental, spiritual dan sosial. Pertama, hijrah mental merupakan pergeseran mindset atau pola pikir dari yang sebelumnya negatif menuju pola pikir yang positif. Dalam konteks kekinian, pola pikir negatif itu umumnya mewujud pada sikap curiga, prasangka dan benci melihat kelompok lain yang berbeda. Pola pikir negatif yang diwarnai kecurigaan, prasangka bahkan kebencian ini sangat tidak cocok diterapkan dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk.

Maka, kita harus melakukan hijrah mental, yakni beranjak dari pola pikir yang penuh curiga dan prasangka kepada liyan menuju pola pikir yang lebih inklusif dalam menerima perbedaan. Kita perlu mengembangkan mentalitas positif dalam menghadapi kemajemukan. Yakni menganggap kemajemukan sebagai keniscayaan yang harus dijaga dan dirawat demi keutuhan bangsa.

Kedua, hijrah spiritual yakni peningkatan kadar keimanan dan ketakwaan terhadap Allah Swt. Wujudnya ialah dengan membuang segala nafsu buruk (nafs lawwamah) dari hati dan pikiran kita serta menghiasi perilaku kita dengan nafs mutmainnah alias akhlak terpuji. Hijrah spiritual memang lebih bersifat vertikal-transendental, yakni bagaimana senantiasa berupaya menjadi muslim yang lebih baik di hadapan Allah. Hijrah spiritual ini dimulai dengan membersihkan diri, bertaubat dan meninggalkan dosa kecil hingga besar. Puncak hijrah mental ini ialah ketika kita bisa menjadi insan yang segala ucap dan lakunya merepresentasikan akhlak terpuji.

Ketiga, hijrah sosial yakni upaya melakukan mobilitas sosial-horisontal untuk mewujudkan kualitas kehidupan sosial yang lebih baik. Dalam artian kehidupan yang jauh dari ketidakadilan, kezaliman, penindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan sejenisnya. Hijrah sosial bertujuan menciptakan kehidupan yang humanis, egaliter, demorkatis, dan pluralis sebagaimana pernah dicontohkan Nabi Muhammad di kota Madinah.

Hijrah sosial pada dasarnya ialah sebuah gerakan transformasional yang dilakukan baik oleh individu maupun masyarakat menuju peradaban yang konstruktif dan rahmatan lil alamin. Puncak dari hijrah sosial ialah lahirnya manusia yang berpikir rasional dan perilakunya membawa maslahat bagi sesama manusia dan alam semesta.

Dalam praktiknya, tiga elemen hijrah, yakni mental, spiritual dan sosial ini tentu tidak terpisahkan. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Hijrah spiritual, tidak akan bermakna apa-apa tanpa hijrah mental dan sosial. Demikian pula sebaliknya. Tiga elemen itu menjadi unsur penting dalam melahirkan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang mampu menjadi lokomotif bagi kemajuan pengetahuan dan teknologi, sekaligus menjadi pelindung bagi keragaman agama dan budaya yang ada di dunia.

Arkian, mari kita sambut tahun baru Hijriah 1 Muharram 1443 ini dengan spirit perubahan. Di depan kita sejumlah krisis bangsa tengah menunggu untuk diselesaikan. Krisis pandemi belum akan usai dalam waktu dekat. Ancaman politik identitas masih membayangi kehidupan demokrasi kita. Ditambah pula dengan ancaman radikalisme agama yang mengoyak kebinekaan dan kebangsaan. Spirit hijrah mental, spiritual dan sosial yang kita teladani dari Nabi Muhammad kiranya bisa membawa bangsa ini keluar dari jebakan krisis kebangsaan yang diakibatkan oleh pandemi, politik identitas dan radikalisme. Semoga.

This post was last modified on 10 Agustus 2021 12:12 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

9 jam ago

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

9 jam ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago