Polemik ihwal pembatalan pemberangkatan haji 2021 akhirnya usai. Pemerintah Arab Saudi memutuskan haji 2021 hanya diperbolehkan bagi warga lokal dan ekspatriat. Ketika kebijakan itu tersiar di media, kelompok yang tempo hari menebar hoaks dan provokasi ihwal pembatalan haji pun mengunci mulutnya rapat-rapat. Tudingan miring seputar kegagalan diplomasi, kriminalisasi ulama dan penyelewengan dana haji pun menguap.
Dari polemik ini kita belajar bahwa kecepatan mengumbar opini harus diimbangi dengan kemampuan menyajikan argumentasi dan fakta yang jelas. Obral bicara tanpa analisa dan data hanya akan membuat diri kita malu di masa depan. Hal ini yang kiranya tampak dari ulah para pengkritik pemerintah ihwal pembatalan haji tempo hari. Mulai dari ulama, politisi hingga tokoh publik ramai-ramai menuding pembatalan haji sebagai kegagalan pemerintah melobi Arab Saudi. Bahkan, tidak sedikit yang menuding pembatalan haji itu karena dana haji habis untuk membiayai proyek infrastruktur.
Seorang tokoh publik dalam sebuah talkshow di TV nasional bahkan menyebut dana haji tercampur dengan uang haram pemerintah. Tokoh yang selalu menggaungkan pentingnya akal sehat ini justru kehilangan akal sehatnya sendiri ketika mengkritik pemerintah. Dalam acara tersebut, berkali-kali ia mengklaim kritikannya tersebut sebagai bagian dari “analisa diplomasi”. Ironisnya, sampai kini ia tidak menarik pernyataannya apalagi meminta maaf. Selain kehilangan akal sehat, tampaknya ia juga telah kehilangan rasa malu.
Kritik dan demokrasi memang menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kritik diperlukan agar demokrasi berjalan seimbang dan tidak timpang. Kritik menjadi suplemen penting bagi sehatnya demokrasi. Namun, kritik yang fakir data, miskin argumentasi dan nirsolusi hanya akan menjadi virus bagi demokrasi. Kritik memang hak warga negara, apa pun latar belakanganya. Namun, kritik yang hanya bermodalkan mulut berbusa, dan hanya mengumbar sensasi jutru akan mengaburkan subtansi kritik itu sendiri.
Melontarkan kritik memang mudah, semudah kita membuang ludah dari mulut kita. Namun, membangun kritik yang menyehatkan demokrasi tidak mudah. Setidaknya ada tiga elemen yang wajib hadir. Pertama data, yakni kumpulan informasi atau pengetahuan yang terverifikasi kebenarannya sehingga bisa menjadi dasar pengetahuan baru. Data didapat dari pengumpulan informasi dan diolah dengan teori tertentu.
Elemen Penting Kritik
Harus diakui, kita kurang memahami subtansi data. Sebagian masyarakat kerap menganggap informasi sumir dan belum terverifikasi sebagai data. Fatalnya, data semu itu dijadikan dasar kritik terhadap pemerintah. Hal ini pula yang mengemuka dalam konteks maraknya kritik atas pembatalan haji. Banyak tokoh yang bahkan memutarbalikkan data demi melancarkan tuduhan miring pada pemerintah.
Kedua analisis, yakni proses pemahaman dan pengamatan secara detail atas isu atau persoalan dengan membongkar seluruh faktor pembentuk masalah tersebut sehingga bisa dikaji lebih lanjut. Analisis diperlukan untuk memisahkan antara argumentasi dan asumsi. Dalam kritik, analisis ini diperlukan untuk membangun garis batas yang jelas antara argumentasi dan asumsi. Argumentasi ialah pendapat atau pemikiran yang dibangun di atas fondasi nalar (rasio). Sedangkan asumsi merupakan dugaan-dugaan yang lahir dari sentimen kecurigaan.
Dalam konteks isu pembatalan haji, tampak jelas bahwa kritik yang dilontarkan sejumlah tokoh publik itu telah bercampur dengan asumsi dan kecurigaan. Nyaris tidak ada argumentasi di dalamnya, karena kritikan itu berangkat dari sentimen kebencian pada pemerintah. Akibatnya, lontaran kritik itu tidak ubahnya seperti letusan senapan tanpa peluru; nyaring namun hampa.
Ketiga solusi, yakni tawaran penyelesaian atau pemecahan atas sebuah problem. Kritik memang tidak wajib menyertakan solusi. Namun, kritik tanpa solusi seperti teori canggih yang tidak aplikatif. Kritik idealnya tidak lahir dari ruang kosong imajinatif, melainkan muncul dari kesadaran berpikir konstruktif.
Polemik ihwal pembatalan haji 2021 ini idealnya menjadi momentum membangun demokrasi berbasis kritik sehat. Sudah saatnya kita beranjak dari tradisi “bicara dulu, pikir belakangan”. Publik wajib memastikan segala kritik yang terlontar harus memiliki basis data yang valid, analisis yang kuat dan menawarkan alternatif pemecahan masalah. Jika tidak, maka ada baiknya kita menunda untuk mengambil kesimpulan atas sebuah isu.
Dalam leksikon ilmu sosial, menunda untuk memberikan penghakiman (judgment) atas sebuah fenomena atau isu merupakan hal yang penting. Penghakiman atau kesimpulan yang terlalu terburu-buru (premature) umumnya akan kental dengan nuansa kecurigaan, prasangka, bahkan kebencian. Hal inilah yang justru akan menjadi kanker bagi demokrasi.
This post was last modified on 14 Juni 2021 3:16 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…