Demokrasi di Indonesia, ketika kita meniliknya dari Pancasila, ternyata tak sekedar sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana rakyatlah pada akhirnya yang memutuskan segala hal yang berkaitan dengan dirinya. Ideal dari demokrasi semacam ini pada dasarnya tak menghendaki pemerintah untuk turut menentukan nasib rakyatnya. Ia hanya berfungsi sebagai fasilitator belaka. Tapi tentu, demokrasi semacam ini menuntut keberdayaan dan kedewasaan rakyatnya untuk terwujud.
Adagium yang lekat dengan konsep demokrasi di atas adalah “Vox populi vox Dei” dimana suara rakyat adalah laiknya sebuah kebenaran yang tak dapat disanggah. Di sinilah terkadang demokrasi dapat menjadi sebuah tirani mayoritas yang bahkan dapat menjelma tragedi ala Maximilian Robespierre dengan alat pancungnya yang kondang itu.
Tapi tak demikian adanya di Indonesia dimana ideal demokrasinya terletak pada sila ke-4 Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Saya pernah menyebut hal ini sebagai sebentuk populisme yang tak populistik (Mengupas Konsep Kekuasaan Jawa: Subasita, Palilah, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dengan sila ke-4 dari Pancasila ini terletak kritik konstruktif bangsa Nusantara pada konsep demokrasi yang notabene berasal dari Barat.
Dengan tilikan tersebut pada dasarnya bangsa Nusantara tak menganut populisme dalam arti ketatnya yang ketika konsep demokrasi ala Barat diimplementasikan secara mentah dapat membuka ruang bagi hadirnya tirani mayoritas. Akar sejarah dari apa yang kini disebut sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat di Nusantara adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam hal ini diandaikan bahwa suara mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran. Kearifan lokal bangsa Nusantara mengajarkan bahwa terdapat beberapa derajat kebenaran yang saya istilkahkan sebagai benering dhewe, benering wong, dan benering bener (Logika Pasca Ruang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Pada derajat kebenaran itu demokrasi ala Barat berada pada derajat benering wong dimana suara mayoritas dianggap sebagai sebuah kebenaran. Karena itulah bangsa Nusantara seolah tak mau terjebak pada tipe kebenaran semacam itu dan ingin beranjak pada derajat kebenaran yang sebenarnya dimana dalam Pancasila diistilahkan sebagai “hikmat kebijaksanaan.”
Kerap kita mendengar bahwa orang arif ternyata lebih dibutuhkan atau laik memimpin daripada orang cerdik cendekia. Berkaca pada kisah Nabi Muhammad, barangkali ia tak secendekia Ali ataupun tiga sahabat lainnya. Tapi jelas Nabi Muhammad yang konon buta huruflah yang memimpin. Di sini posisi para sahabat nabi seperti halnya kaum cerdik cendekia dan sang nabi sendiri adalah sang arif. Dan ketika suara sang arif sebagai representasi benering bener tak didengar, maka kekalahan pada perang Uhudlah yang terjadi karena mendasarkan diri pada suara mayoritas atau benering wong belaka.
Apakah dengan demikian konsep hikmat kebijaksanaan dalam Pancasila membela sebentuk elitisme yang tak menghendaki adanya demokrasi yang mengandaikan adanya egalitarianisme dimana pada akhirnya kebenaran yang sesungguhnya menjadi monopoli orang-orang tertentu? Apakah hal ini, dengan demikian, adalah sebentuk pemerintahan ala Syi’ah Imamah sebagaimana di Iran dimana kekuasaan tertinggi berada pada sang Ayatullah?
Saya kira tak demikian adanya ketika kita mengulik sejarah bangsa Nusantara yang sarat dengan kegiatan musyawarah ala dewan Walisongo di Demak ketika memutuskan sesuatu. Pada bentuk pemerintahan Syi’ah Imamah tak demikian adanya. Dengan kata lain, tak ada otoritas kebenaran tunggal pada dewan Walisongo dan tentu pula pada konsep demokrasi yang termaktub dalam sila ke-4 Pancasila yang konon merupakan hasil galian dari kearifan bangsa Nusantara sendiri.
Hikmat kebijaksanaan di Nusantara pada dasarnya tak pernah mengacu pada golongan tertentu. Ia dapat berada di mana saja atau pada siapa saja tanpa mengenal status sosial. Taruhlah karakter Semar dalam wayang purwa Jawa, meskipun ia hanya seorang kawula yang jauh dari kemegahan istana tapi apapun yang dikatakannya pasti didengar oleh para bendara atau junjungannya. Bahkan, konon, siapa pun yang dekat atau dipilih oleh Semar sudah dengan sendirinya seperti dikehendaki oleh semesta. Dan apapun yang dimurkainya olehnya secara jenaka, dengan kentutnya yang terkenal itu, akan gagal dalam mencapai tujuannya.
Itu semua membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia adalah sebentuk demokrasi yang didasarkan pada hikmat kebijaksanaan dimana ideal kebenarannya adalah benering bener. Karena itulah Semar, meskipun hanya sekedar abdi, digambarkan sebagai seorang dewa yang ngejawantah atau mewujud. Istilah dewa di sini tak berarti Semar adalah sesosok yang sakti, tapi seorang kawula atau rakyat yang paham akan segala duduk perkara. Dan saking pahamnya tak pernah sedikit pun ngawur dalam menyampaikan segala sesuatunya. Demikianlah saya kira eksistensi kritik dalam konsep demokrasi di Indonesia yang didasarkan pada Pancasila. Kearifan-kearifan lokal Nusantara seperti kisah Walisongo dan Semar cukup untuk melukiskan jalannya roda demokrasi tersebut.
This post was last modified on 15 Juni 2021 2:06 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…