Categories: Narasi

Tokoh Agama dan Pandemi; Antara Pencerahan dan Keteladanan

Pandemi Covid -19 telah berjalan setahun lebih. Segala upaya telah kita jalani, mulai dari Pembatasan Berskala Besar (PSBB) sampai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Belakangan, vaksinasi juga digencarkan. Pekan lalu, target harian vaksinasi 1 juta penduduk untuk pertama kalinya tercapai. Namun kasus Covid-19 di sejumlah justru naik drastis sebulan belakangan. Kita menghadapi gelombang kedua pandemi yang menurut epidemolog lebih parah dari gelombang pertama.

Mari kita tarik mundur. Ada fenomena apa sebelum grafik kasus penularan Covid-19 ini melonjak drastis? Ya, apalagi jika bukan rangkaian kegiatan Ramadan dan peringatan Idul Fitri yang tentunya diwarnai mobilitas, kerumanan dan interaksi fisik. Padahal seperti kita tahu, di setiap mobilitas, kerumunan dan interaksi fisik di sana ada potensi kluster penularan Covid-19.

Belakangan ini kita memang cenderung abai pada prokes. Mungkin masyarakat lelah, bosan, atau justru abai pada pandemi? Entahlah. Di bulan puasa lalu misalnya, kegiatan Ramadan di sejumlah daerah sudah normal. Masjid penuh dan sebagin besar tidak menerapkan prokes. Larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah pun dianggap angin lalu bagi sebagian masyarakat.

Kita memang ada dalam situasi dilema bahkan acapkali tidak ada pilihan. Bagaimana tidak? Pandemi hanya bisa berakhir ketika kita mau mengurangi mobilitas, interaksi fisik dan kerumunan. Padahal, kegiatan sehari-hari kita dalam hal ekonomi, sosial, dan keagamaan niscaya melibatkan ketiga hal tersebut. Namun, layaknya manajemen pemecahan masalah, tentu ada skala prioritas yang harus dikedepankan.

Dilema dan Prioritas

Menutup aktivitas ekonomi tentu sangat beresiko bagi kehidupan rakyat banyak. Sedangkan mengurangi aktivitas sosial-keagamaan yang menimbulkan kerumunan dan interaksi fisik kiranya masih bisa dilakukan. Di titik inilah kita membutuhkan peran aktif tokoh agama untuk memberikan pencerahan sekaligus keteladanan pada umat di masa-masa pandemi yang serba sulit ini.

Peran tokoh agama di masa pandemi dalam konteks pencerahan ialah memberikan pengayoman pada umat melalui nasihat dan pesan yang humanistik. Pandemi tidak hanya mengancam kesehatan fisik, namun juga psikis. Rasa cemas, takut dan panik mendorong munculnya stres dan depresi. WHO mencatat, tingkat stres dan depresi masyarakat global cenderung naik selama pandemi. Di kondisi yang demikian ini, para tokoh agama hendaknya hadir dengan spirit merangkul dan memberikan kedamaian di hati umat beragama.

Fitrah agama pada dasarnya ialah memberikan harapan di tengah ketakutan. Di dalam konsep spiritualisme Islam (tasawuf) misalnya, iman pada Allah idealnya direpresentasikan ke dalam dua sikap yakni khauf (takut) dan raja’ (harapan). Takut bahwa Allah akan menghukum manusia jika lalai, namun berharap bahwa Allah ialah zat yang Maha Pengampun. Para ulama kiranya bisa mengajarkan prinsip khauf dan raja’ pada umat dalam menghadapi pandemi. Di satu sisi, kita memang harus mengakui ada ketakutan dan kecemasan. Namun, di sisi lain kita juga masih menyimpan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Tidak hanya dalam konteks pencerahan, peran tokoh agama di masa pandemi juga bisa direpresentasikan dalam keteladanan. Yakni keteladanan dalam menjalankan protokol kesehatan 5 M.  Di dalam struktur masyarakat Indonesia yang relijius, peran tokoh agama sangat vital. Baik dalam hal keagamaan, maupun sosial-budaya.

Kekuatan Mempersuasi

Para tokoh agama tidak hanya menjadi sumber rujukan pengetahuan agama, melainkan juga sebagai pembentuk opini publik. Bahkan, pada titik tertentu tokoh agama dapat memobilisasi massa. Tokoh agama memiliki apa yang disebut oleh Rayne Windsor (2010) sebagai persuasive power.

Yakni kemampuan mempersuasi publik melalui narasi keagamaan agar masyarakat atau umat beragama bersedia mengikuti petunjuk atau melakukan perintah sesuai yang diinginkan. Kemampuan persuasive power ini tidak dimiliki semua orang. Para tokoh agama biasanya memilikinya lantaran memiliki pengetahuan yang luas, kekuatan karakter serta dikaruniai kharisma yang membuat posisi sosialnya cenderung di atas masyarakat umum.

Persuasive power para tokoh agama ini kiranya bisa dioptimalkan bersama-sama melawan pandemi. Dalam konteks teologis, para tokoh agama hendaknya mampu memberikan pencerahan untuk memperkokoh psikis umat dalam menghadapi pandemi. Di saat yang sama, para tokoh agama idealnya juga memberikan teladan bagi umat agar taat prokes 5 dan bersedia divaksinasi jika kesempatan tiba.

Pencerahan dan keteladanan ialah dua hal yang bisa diberikan tokoh agama dalam mengatasi pandemi ini. pencerahan dibutuhkan umat agar senantiasa optimis menghadapi pandemi yang dipenuhi kesulitan dan keprihatinan. Sedangkan keteladanan mematuhi prokes dan menjalani vaksinasi diperlukan sebagai salah satu kekuatan melawan pandemi.

This post was last modified on 28 Juni 2021 2:25 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago