Abu Rafi’, mantan sahaya Rasulullah Saw menceritakan, suatu ketika seorang tamu singgah di kediaman junjungan umat Islam itu. Sebagai tuan rumah yang sudah semestinya memuliakan tamunya, Rasulullah Saw meminta Abu Rafi’ untuk mencarikan makanan untuknya.
Abu Rafi’ lalu mendatangi seorang Yahudi dan menyampaikan pesan Rasulullah Saw. Inti pesannya, Rasulullah Saw tengah kedatangan tamu dan beliau tidak mendapati makanan apapun yang pantas dihidangkan untuknya. Karena itu, Rasulullah Saw meminta makanan (gandum) si Yahudi untuk dijual atau dipinjamkan padanya. Rencananya, Rasulullah Saw akan mengganti makanan itu hingga bulan Rajab.
“Demi Allah, tidak! Aku tidak akan meminjaminya dan tidak akan menjualnya, kecuali dengan jaminan (gadai),” jawabnya merespon pesan Rasulullah Saw. Abu Rafi’ kembali pada Rasulullah Saw untuk menyampaikan jawaban si Yahudi, yang lebih senang menggadaikan makanannya.
“Demi Allah, aku adalah orang yang dipercaya di langit dan dipercaya di bumi. Seandainya dia meminjamkan atau menjualnya kepadaku, pasti aku akan membayarnya. Bawalah baju besiku lalu gadaikan padanya,” jawab Rasulullah Saw.
Kisah mu’amalah/interaksi sosial-kemasyarakatan berupa transaksi gadai di atas sungguh menarik sebagai teladan. Selain diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar dalam Musnad-nya, kisah Rasulullah Saw menggadaikan baju perangnya pada seorang pedagang beragama Yahudi bernama Abu al-Syahm al-Zhafri ini juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari (II/887).
Tentang otentisitas atau validitas kisah di atas, ada sebagian ulama yang mencoba mengritisinya, kendatipun Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam karya terbaiknya, Shahih al-Bukhari. Ada juga yang mengritisinya dari sisi substansi ceritanya. Menurut kelompok ini, Rasulullah Saw sesungguhnya pada saat itu bisa saja menggadaikan baju perangnya pada pedagang Muslim, yang seagama dan tentu saja seiman dengannya.
Namun persoalannya, kenapa junjungan agung umat Islam itu tidak melakukannya dan justru sebaliknya malah memilih bertransaksi dengan pedagang Yahudi? Pertanyaan ini tentu saja wajar dan tentu juga menuntut jawaban dengan segera.
Kiranya menarik disimak, jawaban yang dituliskan Ali Mustafa Yaqub (Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat Tangerang) dalam karyanya, Cara Benar Memahami Hadis (h. 127). Merespon keraguan dan kesangsian ini, Imam Besar Masjid Istiqlal dua periode itu menukil komentar Imam al-Nawawi yang mencoba memberikan jawabannya dengan mengemukakan tiga argumentasi utama.
Pertama, Rasulullah Saw sesungguhnya ingin menunjukkan kebolehan ber-mu’amalah/sosial dalam bentuk melakukan transaksi dan atau bermitra dengan non-muslim dalam urusan keduniawian.
Argumen pertama ini benar belaka, karena mu’amalah dalam Islam tentu saja cakupannya sangat luas, menyangkut persoalan sosial-kemasyarakatan; dan ini tentu tidak bisa dibatasi oleh perbedaan latar belakang keyakinan atau agama. Dan Rasulullah Saw nyata-nyata menunjukkan keteladanannya yang luhur dalam hal ini.
Kedua, saat itu tidak ada orang yang memiliki kelebihan makanan selain pedagang Yahudi. Jikalau pun fakta historisnya saat itu tiada seorang muslim pun yang memiliki kelebihan makanan, maka tentu saja tidak serta merta fakta ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw melakukannya dalam situasi terpepet yang karenanya terpaksa dilakukan. Ini adalah persoalan mu’amalah, yang bisa dilakukan dengan pihak-pihak di luar Islam.
Ketiga, karena para shahabat tidak berani menerima gadai dan tidak pula mau menerima pembayarannya dari Rasulullah Saw. Karena itulah, Rasulullah Saw beralih kepada orang Yahudi agar tidak memberatkan para sahabatnya. Ini juga menjadi cermin betapa kearifan junjungan kaum muslim ini lebih dikedepankan, lantaran tidak ingin memberatkan para sahabatnya.
‘Ala kulli hal, apa yang dilakukan Rasulullah Saw adalah keteladanan yang sepatutnya dicontoh. Memang benar, dalam persoalan akidah atau keyakinan, beliau tidak melakukan kompromi karena prinsip dalam berakidah adalah lakum dinukum waliya din (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Akidah adalah persoalan personal yang tidak bisa disharing dalam konteks sosial-kemasyarakatan. Namun ber-mu’amalah atau berinteraksi sosial-kemasyarakatan, termasuk dengan kelompok agama lain yang berbeda, prinsip utamanya adalah mubah (boleh). al-Ashl fi al-mu’amalah al-ibahah.
Dan betapa banyak kisah-kisah mu’amalah Rasulullah Saw dengan orang-orang yang berbeda latar belakang agama/keyakinan. Inilah nilai-nilai universal Islam dan kerahmatan yang semestinya dijunjung tinggi oleh siapapun yang mengaku sebagai pengikut setianya. Dan, keteladanan seperti inilah yang hari ini sangat minim kita dapati.
Jika Rasulullah Saw saja tak canggung menggadaikan barangnya, dalam hal ini baju perangnya, pada pedagang Yahudi, maka sudah sepatutnya pula kita sebagai umatnya tak canggung ber-mu’amalah dengan golongan yang berbeda selama mu’amalah yang dilakukan menghadirkan kemaslahatan bagi semua pihak. Dan tentu saja boleh ber-mu’amalah dalam pengertian yang luas; berniaga, kerja sama bisnis, pengobatan, keamanan lingkungan dan sebagainya.
Indah nian kiranya, jika interaksi sosial alias mu’amalah tidak disekat dan dibatasi secara kaku oleh sentimen perbedaan agama dan keyakinan. Inilah pertanda masyarakat yang modern dan menghargai nilai-nilai keluhuran.
This post was last modified on 18 Juli 2016 9:25 PM
Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…
Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…
Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…
Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…
Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…