“Beri aku sepuluh pemuda dan dengan kesepuluh pemuda itu aku akan mengguncang dunia. Dengan seratus pemuda, aku akan memindahkan Gunung Semeru”
Pidato Ir. Soekarno tersebut menjadi bukti riil pentingnya peran pemuda bagi peradaban sebuah bangsa. Dulu, pemuda menjadi “macan garang” untuk menumpas segala kemungkaran. Pemuda menjadi motor penggerak yang terlibat secara langsung dalam mengkritisi berbagai kebijakan dan polemik. Namun, dewasa ini pemuda juga rentan terseret arus modernitas. Perilaku negatif kian membabi buta di era kecanggihan digital. Bahkan, pemuda terombang-ambing oleh berbagai sekte yang mengarah pada radikalisme.
Berbagai kasus teror bom bunuh diri kian mengoyak keharmonisan publik erat kaitannya dengan pemuda. Karena pelaku bom bunuh diri justru kebanyakan dilakukan oleh mereka pada usia muda. Atau berkisar pada usia 16 – 30 tahun. Mengapa peran pemuda kian memudar bahkan berubah menjadi sosok radikal? Ini menjadi pertanyaan yang kerap muncul di tengah-tengah publik.
Tidak dapat dimungkiri, kasus radikalisme berjubah agama justru dinaungi oleh mereka kaum muda. Hal tersebut tidak luput dari minimnya internalisasi pendidikan keagamaan secara menyeluruh. Pemahaman terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat kaku, keras, dan eksklusif menumbuhkan sifat ekstremis. Semua hal harus benar sebagaimana tafsir mereka. Jika tidak, maka orang lain berhak disakiti, diteror, bahkan dibunuh.
Inilah sekelumit potret memilukan yang tengah menjangkiti kaum muda hingga melakukan tindakan konyol bom bunuh diri. Ironisny, bom bunuh diri merupakan misi berjihad bagi pemuda yang lalai dan tipis keimanannya. Salah satu faktor terbesar yang mendorong perilaku radikal adalah mudahnya akses berselancar di dunia maya tanpa pondasi keimanan yang kuat.
Dunia maya dimanfaatkan oleh para penebar kebencian sebagai sasaran empuk untuk merekrut massa. Alhasil, kaum muda yang notabene berusia labil menjadi bidikan utama. Sehingga, peran pemuda kini tengah berbalik arah menjadi “monster” berjubah agama yang mengerikan. Pemuda sebagai agen perubahan terkikis oleh cengkeraman radikalisme.
Akar Radikalisme
Harus kita sadari bahwa kasus bom bunuh diri selalu mengatasnamakan agama. Pandangan kaku, eksklusif, dan stagnan terhadap agama lah yang mendorong seseorang dengan mudah terseret arus radikalisme. Ini merupakan implikasi dari salah kaprah memaknai ayat-ayat Tuhan tentang jihad (perjuangan). Terlebih lagi, di era modernitas sekarang ini. Tidak semestinya salah kaprah tersebut terus berulang-ulang merongrong keharmonisan umat manusia. Lalu pertanyaannya, mengapa kerusuhan yang mengatasnamakan agama, ras, dan suku bangsa justru selalu muncul ke permukaan?
Aksi saling bunuh membunuh dengan bom bunuh diri santer berdengung merongrong integritas bangsa ini. Bagi orang-orang (kaum muda) yang bertakwa (muttaqin) tidak mungkin melakukan tindakan keji seperti itu. Karena sejatinya, tidak ada satupun agama di muka bumi ini yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan kejahatan, kekejman, dan kemungkaran.
Berkaca dari berbagai kasus teror yang pernah hinggap di negeri ini. Teror bom di ITC Depok Jawa Barat, beberapa tahun lalu sempat mengguncangkan ketenteraman publik. Selain itu, kasus bom di depan Kedutaan Australia pada tahun 2004 dan bom di Kuningan pada tahun 2000 juga bisa menjadi referensi era kejayaan terorisme.
Kemudian kasus teror yang menghantui Jakarta beberapa waktu lalu mengindikasi bahwa bibit radikalisme belum dapat diamputasi. Peledakan bom bunuh diri yang terjadi di Jl MH Thamrin, tepatnya di depan Gedung Sarinah dan kedai kopi Starbucks kala itu melengkapi kegelisahan publik sekaligus menegaskan bahwa terorisme yang tengah tertidur kembali bangkit dan menjadi ancaman serius yang mengoyak keharmonisan publik. Inilah jejak rekam (track record) radikalisme yang terus merajalela.
Tidak pernah diketahui secara pasti darimana dan bagaimana bibit-bibit teroris dapat lahir dan mengancam keselamatan publik. Kasus radikalisme yang melahirkan generasi teroris seharusnya tidak terjadi apabila kaum muda dibekali dan dibentengi dengan iman dan taqwa yang kuat. Persoalan pelik tersebut menjadi alarm tumbuhnya sikap intoleran generasi bangsa.
Tak jarang, ketentraman umat manusia menjadi korban demi kepentingan pribadi. Entah dilatarbelakangi faktor ekonomi, politik, bahkan modernitas. Yang jelas negeri ini membutuhkan generasi muda cintai damai dan menghargai hak hidup orang lain.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) harus terus terpelihara keharmonisannya. Dengan bekal pemahaman yang baik dan benar dalam memaknai agama, kaum muda dapat melahirkan sinergi yang kuat untuk memerangi radikalisme. Karena sejatinya, melalui pemahaman keagamaan yang benar mampu melahirkan jiwa yang cinta damai, toleran, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Bangunan tersebut harus terus menjulang kokoh di negara multikultural ini. Sebagaimana cita-cita luhur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi bhinneka tunggal ika.
Untuk itulah menumbuhkan sikap toleransi kaum muda di negeri multikultural ini harus terus dibangun dan terus ditingkatkan. Pemuda harus dikembalikan sebagaimana khittahnya sebagai agen perubahan produktif sekaligus progresif. Mari bangkitkan kembali spirit pemuda sebagai agen penangkal radikalisme.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…