Narasi

Tujuan Kita Sama, Jangan Mau Diadu Domba

Belakangan ini mudah sekali kita dapati isu-isu yang berkaitan erat dengan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), yang digoreng oleh pihak-pihak tertentu. Dengan berbagai aneka rupa bumbu yang turut serta diracik, isu-isu tersebut terkemas tidak lagi netral. Juga jauh dari nilai-nilai kebaikan. Pasalnya, dan yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa isu-isu yang digoreng tersebut sarat provokasi dan adu domba.

Kita tentu sangat memahami betul bahwa provokasi dan/atau adu domba tidak saja tidak kita inginkan. Lebih dari itu, ia juga sangat berbahaya. Sebab bersamanya akan melekat efek domino yang luar biasa hebatnya, yang akan dilahirkannya. Mulai dari konflik individu, golongan dan bahkan sosial berpeluang terjadi akibat dari adu domba. Pada gilirannya akan terjadi disintegrasi bangsa. Pertumpahan darah sesama anak bangsa Indonesia tidak menutup kemungkinan terjadi.

Salah satu isu yang digoreng dewasa ini, misalnya, adalah adanya pembubaran pengajian yang dilakukan oleh beberapa oknum suatu kelompok tertentu (Baca: Banser NU). Tanpa memahami tindak-tanduk dan duduk persoalan kedua belah pihak yang sebetulnya terjadi. Media sosial ramai membicarakan dan bahkan mengadili bahwa kelompok tertentulah yang salah. Oleh sebab itu, tindakan tersebut kemudian mendapat kecaman dari kelompok yang lain, seperti Kokam Muhammadiyah, FPI dan lainnya.

Sementara itu, sada saat yang sama, saat ini terjadi upaya makar di daerah tertentu. Katakanlah Operasi Papua Merdeka (OPM), yang saat ini juga sedang santer dijadikan bahan pemberitaan di media massa lantaran tindakannya yang melakukan penyanderaan kepada pihak-pihak tertentu dan bahkan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Terkait kasus-kasus tadi, tidak sedikit dari pengguna medsos yang menyarankan agar kelompok yang dianggap “gemar” melakukan pembubaran pengajian tadi untuk hijrah ke daerah terjadinya aksi makar, untuk memerangi mereka. Saran tersebut, hemat penulis, bukanlah solusi atas permasalahan yang sedang terjadi.

Sebaliknya, itu adalah bagian daripada adu domba. Betapa tidak, dengan adanya hal itu, maka akan berpeluang besar bahwa sesama anak bangsa akan saling berperang, menumpahkan darah. Maka, upaya itu sangatlah jauh untuk menciptakan perdamaian seperti yang kita idamkan

Bagaimanapun juga, konflik semacam itu tidaklah bisa diselesaikan dengan cara kepala batu. Dalam hal ini kita tidak berbicara siapa yang kuat dan yang lemah. Sebab sejatinya semuanya adalah anak bangsa, satu rahim bangsa Indonesia. Akan tetapi, kita perlu menyelesaikan perkara ini dengan kepala dingin. Perlu dicari win-win solution, agar kepentingan berbagai pihak dapat terakomodir. Sehingga pada gilirannya, semua kelompok akan menang bersama. Menang tanpa membuat yang lain merasa dikalahkan dan bahkan dipermalukan.

Sudah banyak contohnya bahwa konflik yang mengemuka di masyarakat nyaris terjadi lantaran provokasi. Apalagi yang berkaitan erat dengan SARA. Jika sudah disusupi oleh provokasi, bak kayu kering diberi minyak dan dibakar api, konflik itu mudah sekali tersulut, menjalar, menyebar, dan membesar, hingga sulit untuk dipadamkan.

Agaknya masih teringat betul dalam ingatan kita terkait konflik Sampit dan Sambar, misalnya. Diketahui, konflik itu membesar karena adanya perbedaan suku. Selanjutnya konflik di Ambon, membesar terjadi lantaran perbedaan agama. Dan konflik di Sampang, usut punya usut membesar karena adanya perbedaan aliran.

Namun, dari konflik-konflik itu, yang membuat ironis adalah bahwa setelah ditelisik lebih lanjut dan mendalam, ternyata konflik-konflik tersebut hanya dipicu kriminalitas biasa.  Dalam pepatah Jawa, agaknya inilah yang disebut “Sepele dadi gawe”. Sesuatu yang kecil tetapi dampaknya bisa begitu besar dan berkepanjangan.

Membuka Ruang Dialog

Oleh sebab itu, sudah sejatinya kita senantiasa berhati-hati dalam “zaman fitnah” seperti sekarang ini. Di era perkembangan informasi yang semakin tak terkendali ini, sudah lazim dipahami bahwa berita palsu (hoax), fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan yang semisalnya, sudah tersebar luas begitu demikian rupa.

Dan juga dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang tertentu saja. Maka, sudah sejatinya kita lebih berhati-hati dalam menerima setiap informasi. Apalagi jika informasi tersebut sarat dengan provokasi dan adu domba. Sudah sejatinya kita melakukan melakukan tabayyun (klafirikasi).

Karena itu, dalam setiap konflik yang mengemuka, termasuk perselisihan kecil sekalipun, diperlukan jembatan strategis untuk meredamnya. Jembatan yang agaknya paling ampuh ialah membuka ruang dialog. Jempatan ini agaknya cocok untuk diterapkan pada setiap konflik-konflik tentang SARA. Bagaimanapun juga harus diciptakan ruang untuk diskusi dan dialog terbuka dalam rangka meningkatkan saling pengertian.

Dalam pada itu, antar kelompok tentu saja tidak boleh tetap mengedepankan atau menuhankan keyakinannya sendiri. Jangan sampai ada kepala batu, bahwa: “Inilah keyakinan kami, dan kami berhak meyakininya. Persetan dengan keyakinan-keyakinan Anda”. Dengan tidak demikian, berarti masing-masing kelompok siap untuk dikritik dan mengkritik. Dengan begitu, maka kesalahpahaman yang selama ini terjadi akan dapat diminimalisir. Dan, keterbukaan adalah kunci utamanya.

Lebih dari itu, ruang dialog ini juga dapat mengembangkan pembangunan dan perdamaian. Juga menyangkut hak-hak asasi manusia, tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, baik itu di bidang keamanan, pangan, kesehatan, pendidikan, dan layanan-layanan lainnya.

Hemat penulis, semua hal itu penting dilakukan untuk menguatkan kebhinekaan kita. Inilah pekerjaan rumah (PR) kita bersama segenap elemen bangsa. Untuk menopang itu, khususnya, pemerintah dan juga tokoh masyarakat harus berperan aktif untuk menciptakan iklim masyarakat yang lebih mengedepankan asas gotong royong dan juga sarat musyarawah.

Dengan musyawarah ini, meskipun secara faktual kita itu beragam, namun semangat kita akan tercipta satu masyarakat yang kuat, yakni bangsa Indonesia. Di situ tidak lagi berbicara soal mayoritas dan minoritas. Tidak lagi soal kepentingan kelompok si A atau si B. Melainkan, yang ada ialah kepentingan bersama, yakni kepentingan bangsa Indonesia. Sekali lagi, demi tujuan bersama, kepentingan bangsa Indonesia. Wallahu’alam

This post was last modified on 13 November 2017 11:34 AM

Kumarudin

Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Uin Walisongo Semarang dan Aktifis HMI

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

4 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

4 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

4 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

4 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago