Kontestasi politik kerap tidak memandang bulu, siapapun bisa dilibas demi tercapainya tujuan. Termasuk, mengorbankan pesatuan bangsa yang terdiri dari berbagai SARA, yang semenjak dulu telah diperjuangkan para pendiri NKRI supaya hidup damai. Dampaknya jelas, ada polarisasi di ranah akar-rumput, yang kerap menjadi konflik berkepanjangan.
Indonesia yang tengah memasuki tahun politik, juga harus mewaspadai potensi konflik yang biasa dihembuskan politisi tertentu. Apalagi jika bersangkut-paut dengan agama, tentu amat sensitif dan cukup berhasil membuat umat mayoritas terbakar emosi. Sebagaimana baru-baru ini terjadi, tuduhan kriminalisasi ulama oleh pemerintah, sehingga pemerintah terkesan anti ulama dan tidak ramah dengan Islam dan umatnya. Hal ini terjadi lantaran sebagian masyarakat masih bingung dengan definisi ulama. Sehingga, seseorang yang dikonstruksi oleh media sebagai ulama, atau karena klaim keturunan ulama atau bahkan nabi, dengan mudah dipercayai umat. Akibatnya, jika ada hukum yang menjerat ulama tersebut, disamaartikan dengan menciderai umat, karena pemerintah telah menetapkan junjungan mereka sebagai tersangka, misalnya.
Padahal, tidak ada salahnya jika ulama dihukum, kalau memang terbukti ulama tersebut berlaku zalim atau perilaku yang melanggar hukum. Bukankah Rasul Saw. juga pernah bersumpah akan memotong tangan putrinya jika terbukti mencuri? Artinya, tidak ada pengistimewaan terhadap siapapun jika memang bersalah, termasuk putri nabi, terlebih ulama. Karena yang dibela Islam adalah nilai (kebenaran, keadilan, dll), bukan sosok. Namun hal ini bukan berarti, kita menurunkan kualitas penghormatan kita kepada ulama (yang benar-benar ulama). Karena, menghormati dan menghargai ulama adalah bagian dari perintah agama, karena dari merekalah pesan-pesan kenabian disampaikan untuk sekalian umat.
Baca juga : Ulama, Persatuan dan Kesatuan Indonesia
Dengan penjelasan tersebut, kita bisa simpulkan bahwa yang terpenting ada dalam diri manusia bukanlah yang bersifat fisik, melainkan lebih dari itu: akhlak, kecerdasan. Apalagi mereka yang menyandang status ulama, tidak cukup hanya karena memiliki riwayat keturunan ulama atau orang saleh. Akan tetapi, kualitas keulamaannya harus diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. Tidak ada ceritanya, ulama yang gemar menebar virus kebencian kepada umat, baik secara langsung maupun melalui saluran dalam jaringan (daring).
Dengan demikian, ulama yang bisa mengaktualisasikan diri di masyarakat dengan piranti akhlak mulia lah yang bisa menjadi harapan bangsa. Ulama model ini bisa diteladani bangsa, untuk bersama-sama gotong royong membangun Indonesia agak lebih santun lagi masyarakat-masyarakatnya -terlebih saat menghadapi perbedaan.
Sayangnya, amatlah sedikit sosok-sosok yang saya gambarkan tadi. Yang ada adalah ulama-politik, yang gemar mengklaim diri paling benar, lalu merendahkan lawan politiknya dengan ditaburi ayat suci. Hal ini tentu tidak berlaku bagi ulama yang terjun ke dunia politik, tapi tetap menjaga etika politiknya, siapapun itu.
Maka dari itu, untuk bekal kita dalam menemukan ulama yang sebenar-benar ulama, setidaknya perlu memerhatikan pemaparan seorang ustaz di Jakarta Selatan. Sebagaimana diwartakan republika.com, bahwa Ustaz Mizan Qudsiyah dalam Kajian Sabtu Masjid Nurul Iman di Blok M Square yang mengangkat tema “Ulama Pewaris Para Nabi”, mengatakan ada beberapa kualifikasi yang hanya dimiliki ulama pewaris para Nabi. Pertama adalah, berorientasi pada akhirat. Hal ini bukan berarti meninggalkan urusan dunia, justru malah sangat memerhatikan laku hidupnya di dunia, agar aktivitas duniawi bernilai pahala di akhirat. Tentu, orang model ini hidupnya akan selalu (berusaha) berada di dalam koridor ketaatan. Sehingga, tidak mungkin orang model begini gemar caci maki.
Kedua, jaga jarak dari pemimpin zalim. Jaga jarak bukan berarti meninggalkan, melainkan tetap berupaya menasihati dengan berbagai macam cara: misalnya di era digital ini, bukan mustahil ulama akan mengkritisi penguasa melalui tulisan atau media online.
Adapun ketiga, tidak tergesa mengeluarkan fatwa. Karena fatwa, di mata umat, adalah sesuatu yang urgen dan menjadi prinsip hidup mereka, maka tidak bisa serampangan dikeluarkan. Apalagi, hanya untuk kepentingan politik praktis. Jika menilik sejarah masa lampau, banyak ulama besar yang kompeten enggan mengeluarkan fatwa, demi kemaslahatan umat. Sedangkan sekarang? Seakan-akan fatwa dijadikan komoditas politik, untuk menjungkalkan lawan politiknya.
Setidaknya tiga kualifikasi tersebut bisa dijadikan ukuran, untuk menilai seorang apakah bisa dikatakan ulama atau tidak. Sehingga, kita tidak terlalu skeptis dengan sosok ulama, begitu juga tidak terlalu fanatik. Menghormati ulama sewajarnya saja, sebagaimana makmum mengikuti imam dalam shalat, begitu imam bacaan ayatnya salah, makmum yang paling kompeten membenarkan bacaan tersebut.
Terangnya, ulama sejati selalu mampu menjadi teladan umat tanpa mendaku diri sebagai ulama. Juga, selalu membangan jembatan-jembatan penghubung antar jurang perbedaan, alih-alih memperkokoh dinding perbedaan. Karena, manusia semuanya adalah bersaudara, karenanya, ulama sejati adalah mereka yang mau dan mampu mengikat persaudaraan tersebut.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments