Narasi

Universalisme Islam Sehatkan Kepedulian Nasional

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid) serta etika (akhlaq), seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka dan dalam sikap hidup. Padahal unsur-unsur itulah yang sesungguhnya menampilkan kepeduliaan yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusian (al-insaniyyah) (Abdurrahman Wahid, 2007).

Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum dan undang-undang, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan kewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan serta pembatasan atas wewenang para pemengang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.

Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.

Tantangan universalisme Islam saat ini adalah adu domba yang dibungkus sentimen keagamaan. Dimana terkait terjadinya tragedi kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita dari etnis Rohingya, di daerah Arakan, wilayah Rakhine, Myanmar sejak rangkaian serangan pada tanggal 9 Oktober 2016 hingga saat ini.

Keselamatan Beragama

Menurut informasi terkini kompas (06/09/2017), dalam kasus Rohingya, Myanmar tidak terlalu renposif terhadap Malaysia, Turki, tetapi kepada Indonesia Myanmar sangat terbuka. Berkat ketebukaan itu Indonesia dipercaya Myanmar sebagai penghubung terhadap negara-negera lain yang ingin membantu kasus Rohingya.

Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok.

Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah kuno, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar proseedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli), (Abdurrahman Wahid, 2007).

Kelima jaminan ini yang krisis di Rohingya. Tetapi isu-isu yang dibangun dan dikaitkan dengan bangsa kita yaitu keselamatan keyakinan beragama. Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tengang rasa dan saling pengertian yang besar.

Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas sebagaimana yang terjadi di Rohingya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah sikap toleransi sebagai bagian inherent dari kehidupan manusia.

Membangun Toleransi

Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam untuk saat ini dan kedepannya. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang muncul di masa pasca-industri (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis).

Kaum Muslim kini bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban umat manusia. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi objek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti masyarakat lainnya. Lebih tragis lagi melalui politik ekonomi yang terjadi di Rohingya menimbulkan sentimen keagamaan di Indonesia dengan alasan kepedulian kemanusiaan.

Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisme ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi umat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu menekan kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini.

Situasi memanas di Rohingya jangan dimaknai dengan sentimen keagamaan. Sehatkan kepedulian kemanusian, jangan mencari keuntungan dari kasus Rohingya, menarik sumbangan di jalan-jalan dan lampu merah boleh saja tetapi dana itu benar-benar tersalurkan tepat sasaran. Perlu diingat bersama, kerukunan bangsa Indonesia harus kita pertahankan di tengah gejolak politik perpecahan umat.

Sholikul Hadi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago