Narasi

Bercermin Pada Rohingya, Bangun Kesadaran Kolektif

Myanmar, kendati salah satu peraih nobel perdamaian adalah putra bangsanya (Daw Aung San Suu Kyi) , namun seperti yang dipertotonkan kepada masyarakat dunia beberapa waktu lalu tentang isu Rohingya, tentu kita akan menyadari betapa perdamaian dan solidaritas di sana sedang memprihatinkan. Namun serumit apapun persoalannya solusi terbaik pasti selalu ada selama persoalan tersebut diselesaikan dengan jalan damai serta partisipasi kolektif seluruh elemen bangsa.

Seperti yang diungkapkan Dubes RI untuk Miyanmar beberapa waktu lalu bahwa Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State, yang kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012. Bahkan dalam konflik itu melibatkan tokoh agama, namun konflik itu sebenarnya juga berakar pada soal social economy, poverty dan etnisitas. (detik.com : 2017)

Tantangan Kolektif

Bercermin pada krisis etnis Rohingya di Myanmar yang telah menjadi perhatian dunia dan jadi keprihatinan serius di Indonesia, tentu kita harus memahami bahwa perpecahan dapat terjadi oleh banyak faktor yang sebenarnya sangat sederhana. Namun menjadi rumit ketika persoalan tersebut dimanfaatkan oleh para pengumbar fitnah yang selalu mencita-citakan perpecahan. Dengan mudah isu kemanusiaan diolah menjadi isu benturan kesukuan, agama, dan lain sebagainya dengan fitnah atau hoax tersebut.

Tantangan kita saat ini dan kedepan adalah membangun kesadaran kolektif keindonesiaan sebagai bangsa dilandasi oleh ikatan ideologis dengan mendasarkan pada konsep kelas Negara Dunia Ketiga. Ancaman nasionalisme dan integrasi bangsa Indonesia sebagai Negara Dunia ketiga adalah, ketika Negara mengabaikan problem- problem structural masyarakat akibat terlalu melayani kaum borjuis Internasional. Itulah bibit- bibit terjadinya disintegrasi bangsa. Secara praktis, kita perlu melawan sekaligus menghentikan bermacam tindakan penguasa atau oknum tertentu, yang seolah mewakili negara dengan dalih konstitusional, ternyata menggadaikan kekayaan negeri (sebagai bagian kekuatan bangsa) pada kaum kapitalis internasional. Makin hilangnya sumber daya alam ini yang dieksploitasi mengakibatkan ketidak adilan, marginalisasi berlangsung secara terus-menerus. Semua itu membuat bangsa ini semakin carut- marut dan kerisis berkrpanjangan. Inilah tantangan serius, akar structural mengapa krisis nasionalisme dan solidaritas  terjadi di negeri ini (Arie Sujito: 2013)

Kesadaran Kolektif

Melihat situasi yang telah memakan banyak korban jiwa di Rohingya, kesadaran kolektif untuk mengkounter dan meredam isu hoax terhadap konflik tersebut harus dilakukan secara bersama. Kita harus selalu mengedepankan fakta dan realitas, bukan justru mengumbar isu yang belum jelas kebenarannya.

Lebih lanjut Dubes RI untuk Myanmar Ito Sumardi berpandangan bahwa setiap orang punya pendapat dan cara menyampaikan pendapat, tapi apabila kita secara realistis mengedepankan fakta dan keadilan, maka langkah atau upaya yang akan kita lakukan benar-benar menjadi efektif. Isu Rohingya adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif, baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang hanya  berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi dan belum tentu kebenarannya. Prinsipnya kita bersepakat agar peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi perikemanusiaan ini agar segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita tentunya tak hanya kepada pemerintah saja, namun juga kepada kelompok Rohingya supaya tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.(detik.com: 2017)

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia telah memiliki pengalaman yang sangat mumpuni dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik. Oleh karenanya diperlukan kesadaran kolektif untuk selalu mengedepankan musyawarah dan solidaritas dalam mencari solusi setiap permasalahan yang ada. Selain itu diperlukan pembangunan system sosial budaya yang bertujuan untuk membina mental, sikap hidup dan sikap budaya Indonesia, baik kedudukannya sebagai individu maupun sebagai bangsa yang yakin akan kebenaran Pancasila, sehingga mampu dihadapkan kepada tuntutan tuntutan pembangunan beserta permasalahannya dalam lingkungan yang dinamis dan tuntutan kemajuan global.  Untuk menutup tulisan ini sepertinya menarik untuk mengutip ungkapan Persiden Pertama Indonesia sebagai berikut:

“Pengalaman adalah guru, adalah pedoman, adalah kemudi yang sangat berharga. Pengalaman yang tidak diperhatikan akan menghantam roboh kita sendiri” (Bung Karno)

Amrullah Rz

Aktivis pemuda perdamaian tinggal di Sumenep Madura.

Recent Posts

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

12 jam ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

14 jam ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

15 jam ago

Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Membangun Sekolah yang Damai dari Intoleransi, Bullying dan Kekerasan

Hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati pada tanggal 2 Mei 2024 menjadi momentum penting untuk…

15 jam ago

Role Model Pendidikan Karakter Anti-Kekerasan Ala Pesantren

Al-Qur’an merupakan firman Allah azza wa jalla yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang…

15 jam ago

Merdeka Belajar; Merdeka dari Tiga Dosa Besar Pendidikan

Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman…

2 hari ago