Narasi

UU Terorisme dan Upaya Deradikalisasi di Dunia Maya

Wawancara eksklusif Dita Siska Millenia dengan koran tempo seputar motifnya membantu para tahanan teroris yang memberontak di Markas Brimob menarik diulas. Dita tergerak ke Marko Brimob hanya mengandalkan berita dari channel diskusi Din, ada seruan merapat ke Brimob karena Mako rusuh. Ia mengaku ke Mako Brimob untuk membantu memberi makanan kepada terorisme yang sedang memberontak.

Dita melangkahkan kakinya ke Mako Brimob dan berusaha untuk membantu para terorisme adalah langkah yang berani. Tentunya ia telah mempunyai jaringan dan mempunyai satu pandangan yang sama dengan para terorisme. Koran tempo edisi 3 Juni memberikan gambaran, bagaimana Dita masuk dalam jaringan terorisme dan bagaimana ia mempelajari ideologi yang berakar pada terorisme.

Dita mengaku, ia berpandangan bahwa mereka yang memerangi Islam atau mereka yang tidak dihukum dengan hukum Islam pantas untuk dibunuh. Baginya, demokrasi adalah haram karena hukum buatan manusia. Ia mendapatkan pemahaman seperti itu dengan belajar otodidak dari berbagai grup WhatsApp, channel Telegram sejak bulan November 2017. Ia juga membaca bukunya Imam Samudra, pelaku bom Bali. Dari buku tersebut ia memperoleh pemahaman, kalau bom lebih banyak merugikan orang kafis, ia memperoleh pemahaman tidak masalah. Sedangkan kalau merugikan diri sendiri, dianjurkan untuk tidak melakukannya.

Dita menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang mempunyai pandangan bahwa demokrasi haram. Dengan mudah ia juga mengatakan, membunuh mereka yang tidak menggunakan hukum Islam adalah boleh. Ada hal yang menarik dari proses Dita memperoleh pemahaman seperti itu, yaitu melalui sosial media dan belajar secara otodidak. Dari hasil wawancara Koran Tempo tersebut, Dita memperoleh pemahaman seperti itu semenjak November 2017. Ia belajar otodidak dari berbagai grup WhatsApp, channel telegram yang memberikan bahan bacaan tentang islamic state dan video-video eksekusi pemenggalan. Dari sana ia belajar pemahaman yang keras terhadap orang di luar kelompoknya.

Dita menjadi salah satu contoh dari sekian banyak orang yang saat ini memanfaatkan internet sebagai media belajar. Dengan mudah, Dita bisa menerima pemahaman agama seperti itu hanya sebatas melalui tulisan-tulisan di media sosial atau video yang tersebar di internet. Internet menjadi celah yang sangat efektif untuk melakukan propaganda paham terorisme di Indonesia, bahkan di negara-negara lainnya.

Mudahnya para terorisme mempropagandakan ide dan ideologinya melalui internet, sehingga efektif pula proses deradikalisasi pun juga merambah melalui internet. Memang akar dari terorisme yang intim melalui pertemuan, atau proses doktrinasi secara langsung. Namun, melupakan dunia maya sebagai upaya deradikalisasi sama saja membiarkan generasi millennial turut terbawa propagandanya. Dita menjadi salah satu contoh generasi millennial yang dengan mudah menerima gagasan terorisme melalui internet.

Memperkuat Masyarakat Sipil

Pada Undang-Undang Anti terorisme pasal 43-C, mengatur bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. Pencegahan dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Pasal 43-C tersebut menyatakan bahwa kebijakan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.

Kasus Dita yang belajar ideologi terorisme melalui internet menjadi penanda bahwa masyarakat sipil berperan penting dalam deradikalisasi di dunia maya. Masyarakat yang mempunyai pemahaman agama dan nasionalisme yang baik, agar bersama-sama membuat narasi Islam atau agama apapun yang damai untuk dipelajari. Sosialisasi bagaimana belajar agama yang baik di media sosial atau memberikan pemahaman bahwa terorisme sangat mengancam, sudah selayaknya dilakukan. Deradikalisasi bukan hanya tugas lembaga negara, justru masyarakat sipil sangat berperan penting untuk melakukan deradikalisasi terutama di dunia maya. Pemerintah mendorong masyarakat sipil untuk bersama-sama melakukan deradikalisasi di lingkungan sekitar atau di dunia maya.

This post was last modified on 30 Mei 2018 12:59 PM

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

4 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

5 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

5 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

3 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

3 hari ago