Narasi

UU Teroris: Payung Hukum Baru dalam Menjaga Kebhinnekaan Indonesia

Pada tanggal 25 Mei kemari, revisi UU Teroris secara resmi disahkan oleh DPR sebagai payung hukum baru untuk memberantas teroris secara maksimal, namun tidak meninggalkan rasa kemanusiaan. Sebab undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki sejumlah masalah dalam pasal-pasalnya yang dapat ditinjau dari aspek hukum materil maupun aspek hukum formil.

Misalnya penghargaan atas HAM dan tentunya sikap yang tegas jangan sampai karena faktor HAM kita lupa bahwasanya terorisme merupakan extraordinary crime tentu juga memerlukan extraordinary approach. Pendekatan luar biasa dimaksud harus relevan dengan semangat demokrasi dan HAM sehingga efektif efisien dan humanis.

Demi menjadikan payung hukum baru tanpa menyampingkan rasa kemanusiaan, revisi tersebut mendapatkan beberapa kesepakatan; seperti definisi terorisme bahwa perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan. Dan, secara keseluruhan, perubahan di Revisi UU Terorisme meliputi penambahan substansi atau norma baru untuk menguatkan peraturan dalam UU sebelumnya.

////

Terorisme dapat tumbuh subur jika negara gagal memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat luas. Selain itu, terorisme juga dapat tumbuh subur ketika masyarakat banyak yang tidak peduli terhadapnya. Oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk mencegah dan mewaspadai ancaman terorisme secara bersama-sama. Karena dengan kebersamaan, maka kita pun mampu menciptakan sinergitas yang kuat antara pemerintah dan masyarakat, sehingga terorisme pun sulit untuk berkembang.

Menurut Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI), sebelum tahun 2010 kelompok teroris di Indonesia yang menjadi sasarannya adalah symbol-simbol barat (Far Enemy), namun setelah tahun 2010 kelompok teroris mengubah sedikit sasaran  mereka dari yang tadinya Far Enemy menjadi Near Enemy, hal itu terjadi lantaran banyak anggota teroris yang ditembak mati oleh pihak kepolisian.

Kondisi demikian menggambarkan bahwa semakin lemahnya keutuhan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UUD 1945 pasal 25 A menjelaskan bahwa NKRI adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri nusantara dan wilayahnya yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Berbagai permasalahan dan persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia mengundang berbagai elemen-elemen organisasi umtuk mengambil langkah dan sikap dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semua elemen bangsa harus menjaga keutuhan NKRI karena merupakan bentuk dari implementasi ideologi dari bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sebagaimana sebuah negara, kedaulatan merupakan suatu hal yang wajib dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Sebagai warga Negara yang baik dan rindu akan ketenangan tentu kita merasa bosan mendengar aksi-aksi yang tidak manusiawi. Aksi tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja yang menghendaki kehidupan ini kacau balau. Tidak hanya aksi teroris yang terkait dengan pengeboman yang sering terjadi di Indonesia baru-baru ini. Namun banyak sekali aksi-aksi yang tidak manusiawi lain yang begitu merendahkan  nilai-nilai kemanusiaan.

///

Melihat aksi teroris yang sudah terjadi, dengan menghalalkan banyak cara, diperlukan sebuah payung hukum yang kuat untuk memberantas teroris tersebut. Sebab, sel-sel teroris tidak hanya dimiliki orang telah menjadi “pengantin” mereka yang menjadi dalang, bibit-bibit calon pengantin dan macamnya. Sebab teroris merupakan penyakit yang multidimensi yang harus diselesaikan cara cepat dan tepat.

Dengan adanya payung hukum baru ini, akan menjadi basis penguatan preventif terhadap setiap potensi ancaman terorisme di RI. Penguatan preventif akan memastikan institusi lembaga hukum terkait dapat bertindak cepat dan mematikan benih ancaman terorisme.

Jika memang benar ada eskalasi ancaman teror yang besar dan mengancam keamanan nasional di Indonesia, menurut Wilkinson (2006), untuk mencegah dan mengendalikan kemungkinan dimasukannya unsur militer dalam strategi kontraterorisme. Dengan demikian, Polri melalui Densus 88 harus mengubah paradigma teror dan harus mulai memandang terorisme dalam bingkai penegakan hukum, menggunakan pendekatan yang polisional dengan peradilan kriminal (sipil). Dalam jangka panjang, strategi anti-teror mencakup eliminasi akar penyebab terorisme harus mengedepankan HAM tanpa pemaksaan ataupun kekerasan.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago