Virus radikal terorisme yang belakangan mengemuka di Indonesia dilatari oleh setidaknya dua faktor, yakni internal dan eksternal. Dari sisi internal, gerakan radikalisme agama di Indonesia dapat ditelusuri ke belakang sejak era awal kemerdekaan Indonesia. Empat tahun sejak Republik Indonesia dideklarasikan, muncul pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) terjadi di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan pemberontakan itu disatukan oleh misi sama, yakni mendirikan negara Islam yang berdasar pada hukum syariah. Gerakan pemberontakan itu berhasil ditumpas, dan sejumlah tokohnya terbunuh pada 1960-an. Meski demikian, radikalisme agama yang mereka perjuangkan tidak pernah benar-benar binasa.
Dari sisi eksternal, radikalisme agama di Indonesia berakar dari isu konflik sektarianisme dan perkembangan ideologi islamisme di kawasan Timur Tengah. Hal ini tampak pada fenomena gerakan radikal Islam di era Reformasi. Berbeda dengan gerakan radikal di era tahun 1950-an, radikalisme agama yang mengemuka di era Reformasi ini disponsori ormas Islam transnasional, antara lain, Jamaah Islamiyyah (JI), Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HT). Mereka mengimpor isu konflik sektarianisme di sejumlah negara Islam di Timur Tengah untuk menyebarkan gagasan khilafah-nya di Indonesia. Strategi andalan mereka ialah mengadu domba umat Islam dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada negara dengan menebar propaganda negatif.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai ormas Islam yang paling getol mengampanyekan khilafah dan berdirinya negara Islam memang telah dibekukan melalui Perppu Ormas tahun 2017. Namun, ideologi radikal dan gerakan khilafah tampaknya tetap menyebar di masyarakat, tidak terkecuali di masa pandemi Covid-19 ini. Di masa pandemi ini, bangsa Indonesia tidak sepenuhnya lepas dari ancaman radikalisme dan terorisme. Tertangkapnya jaringan teroris di sejumlah wilayah di masa pandemi ini ialah bukti bahwa sel teroris yang berafiliasi dengan ISIS tidak pernah mati.
Mereka bergerak dalam senyap, memanfaatkan kesibukan pemerintah dan masyarakat yang tengah berjuang melawan pandemi. Hal ini dibuktikan dengan serangan tunggal teroris di Kantor Polsek, Daha Selatan, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu. Tidak hanya di dunia nyata, kelomok radikal-teroris juga aktif bergerak di dunia maya. Hampir saban hari mereka mengamplifikasi isu dan sentimen negatif yang bertujuan meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyat. Mereka mengkapitalisasi isu penanganan pandemi Covid-19 untuk menyerang pemerintah dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada negara.
Baca Juga : Dari Piagam Madinah ke Pancasila: Ikhtiar Membumikan Islam Rahmat dalam Konsensus Bernegara
Pembacaan sederhana di atas menunjukkan pada kita bahwa gerakan radikalisme agama di Indonesia berakar dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari dalam, kita memiliki sejarah tentang pemberontakan kelompok nasionalis-islamis di dekade 1950-an. Sedangkan dari luar, kita menghadapi infiltrasi ideologi transnasional yang diimpor dari Timur Tengah oleh ormas-ormas Islam seperti HTI, JI, IM dan lain sebagainya. Dengan melihat peta dan akar radikalisme-terorisme di Indonesia itu, kita bisa mengambil langkah dan kebijakan untuk memberantas radikalisme dan terorisme hingga ke akarnya.
Reaktualisasi Pancasila, Mengimplementasikan Islam Moderat
Dalam konteks dalam negeri, kita perlu mereaktualisasikan nilai Pancasila sebagai vaksin untuk melemahkan virus radikalisme agama. Untuk menghadapi arus radikalisme dan terorisme berlatar agama, Pancasila harus diejawantahkan dalam perilaku masyarakat dan penyelenggara negara. Pancasila tidak boleh disakralkan, terlebih dimonumenkan layaknya benda mati. Pancasila harus “hadir” di tengah-tengah masyarakat melalui corak pandang, paradigma dan terutama perilakunya. Kelima sila dalam Pancasila harus mengejawantah ke dalam perilaku publik.
Sila ketuhanan harus dipraktikkan ke dalam praktik kebertuhanan dan keberagamaan moderat yang toleran dan ramah pada multikulturalitas dan multirelijiusitas. Sila kemanusiaan harus diejawantahkan ke dalam relasi sosial-keberagamaan yang menjiwai nilai peaceful coexistence alias kerjasama berlandaskan perdamaian. Sila persatuan sepatutnya diimplementasikan ke dalam konsep keumatan universal yang tidak terikat identitas keagamaan. Sila permusyawaratan hendaknya dimaknai ke dalam semangat menjaga kerukunan keislaman (ukhuwah islamiyyah), kerukunan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan kerukunan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Sedangkan sila keadilan kiranya bisa dipraktikkan ke dalam prinsip egalitarianisme yang memposisikan masyarakat secara setara tanpa memandang identitas pribadi dan sosialnya.
Prinsip dan nilai Pancasila itulah yang harus ditanamkan ke jiwa seluruh masyarakat Indonesia layaknya vaksin yang disuntikkan ke tubuh untuk melawan virus jahat. Vaksinasi atau imunisasi Pancasila diperlukan seluruh masyarakat Indonesia untuk membentuk kekebalan dari virus radikal terorisme yang terus-menerus menyerang tanpa mengenal waktu. Selain mengoptimalkan penghayatan dan pengamalan Pancasila, kita juga perlu mengaktualisasikan corak keberislaman moderat-progresif.
Kelompok Islam moderat-progresif harus mengembangkan paham keagamaan otoritatif, untuk melawan narasi keagamaan otoritarianistik yang dipraktikkan oleh kaum radikal. Otoritarianisme keagamaan ialah corak keagamaan yang mengklaim hasil penafsirannya atas ajaran agama sebagai yang paling benar. Otoritarianisme keagamaan berkecenderungan untuk memaksakan kehendak kepada kelompok lain dengan cara-cara kekerasan. Paham keagamaan yang demikian ini harus dilawan dengan praktik keagamaan yang inklusif, toleran dan moderat. Aktualiasi Pancasila dan implementasi keislaman moderat akan menjadi semacam vaksin penangkal ancaman virus radikalisme dan terorisme.
Sedangkan dalam konteks luar negeri, kita perlu berpartisipasi aktif dalam mengurai konflik sektarianisme di Timur Tengah yang notabene merupakan akar radikalisme kontemporer di dunia Islam. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa mengambil peran strategis untuk meredakan kekacauan sosial-politik di sejumlah negara di Timur Tengah. Posisi Indonesia yang unik, yakni memiliki penduduk mayoritas muslim, namun bukan negara Islam kiranya bisa menempatkan Indonesia sebagai negara netral yang bisa dipercaya oleh pihak-pihak yang bertikai. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu menggalang solidaritas internasional untuk mengentikan kekerasan sektarian dan konflik sosial berlatar isu agama yang terjadi di Timur Tengah. Selain itu, golongan Islam moderat di Indonesia juga harus mempelopori kampanye moderatisme Islam ke negara-negara muslim di seluruh dunia. Selain memperkuat corak keberislaman moderat di dalam negeri, kelompok Islam moderat-progresif di Indonesia juga perlu mengekspor gagasannya ke luar negeri. Virus moderasi keberagamaan ini perlu disebarluaskan ke seluruh dunia Islam agar konflik sektarian yang menjadi latar bersemainya gerakan radikalisme global dapat diakhiri. Perpaduan antara reaktualisasi Pancasila dan implementasi moderatisme Islam ini ialah kunci kita membangun imunitas bangsa dan negara dari serangan virus jahat radikalisme dan terorisme.
This post was last modified on 22 Juni 2020 4:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…