Narasi

Dari Piagam Madinah ke Pancasila: Ikhtiar Membumikan Islam Rahmat dalam Konsensus Bernegara

Politik cerdas dan visi kenegaraan Nabi Muhammad tercermin dari cara Beliau merumuskan Piagam Madinah atau Shahifatu al-Madinah. Sebuah perjanjian sosial atau kontrak sosial yang brilian pada masanya hingga saat ini. Sebuah produk ijtihad dalam membangun masyarakat yang plural dengan tidak menonjolkan atribut dan simbol keagamaan secara formal, tetapi secara subtansi menjamin keseteraan, kebebasan dan perlindungan terhadap komunitas agama dan suku di Madinah.

Kenapa Rasulullah sebagai pembawa wahyu tidak menegaskan untuk membangun Madinah sebagai negara yang secara formal berasaskan Islam? Kenapa Nabi justru merasa penting membuat kontrak dan konsensus itu padahal Islam sebagai masyoritas di Madinah? Kenapa Nabi memilih tidak memakai simbol Islam untuk mengatur Madinah dengan semisal menyebutnya Perjanjian Syariah Islam?

Nabi sangat menyadari bahwa Madinah tidak hanya dihuni oleh mayoritas umat Islam, tetapi juga didiami oleh berbagai suku, klan dan relasi pribumi dan non-pribumi. Dimensi pluritas dan multi kultur Madinah merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Apakah Nabi mengalah dengan mengadakan perjanjian?

Tidak! Nabi tidak mengalah, tetapi justru mempraktekkan visi Islam rahmat dalam menegakkan keadilan dan jaminan kebebasan dalam perbedaan. Itulah sebenarnya pembumian Islam rahmatan lil alamin dalam membangun masyarakat yang berparadigma “ummah” bukan “qaumiyyah”.

Baca Juga : Infodemik, Radikalisme dan Imunisasi Digital

Piagam yang dibuat pada tahun 622 M ini oleh Sosiolog Robert N Bellah disebut sebagai konstitusi termodern yang melampaui zamannya, bahkan sebagai konstitusi pertama di dunia yang memberikan jaminan kebebasan dan kesetaraan. Piagam ini disusun jauh sebelum munculnya “Universal Declaration of Human Rights” atau deklarasi HAM PBB pada tahun 1948, atau hampir 6 abad mendahului “Magna Carta Libertatum” (The Great Charter of Freedoms). Bagi Fazlur Rahman, Piagam ini telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi serta dapat mewujudkan kerja sama  yang erat dengan kaum muslimin di negara Madinah.

Di Indonesia kita hampir menemukan hal sama. Pancasila menjadi konsensus nasional dalam menjamin kebebasan dan merangkul perbedaan. Apakah para pendiri bangsa yang juga para tokoh agama tidak menyadari mayoritas Islam di negara ini? Kenapa mereka tidak merumuskan negara berdasarkan Islam atau setidaknya NKRI bersyariah? Tokoh dan ulama besar pada zaman itu justru memilih Pancasila dengan tanpa atribut dan simbol kata Syariah.

Pertanyaannya, apakah ini bentuk kekalahan umat Islam? Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu sekali lagi bukan kekalahan politik wakil-wakil umat Islam. Seperti hal Nabi merumuskan Piagam Madinah. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Mantan Menteri Agama) menyebutkan Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia.

Tidak bisa dibayangkan jika negara ini tanpa hadiah ini, Indonesia mungkin selalu berada dalam tarik ulur negara berdasarkan agama dan dalam cengkraman sentimen sekterian yang tiada habisnya. Mungkin saja Indonesia akan selalu berada dalam kubangan perang saudara yang tidak berkesudahan seperti yang dialami beberapa negara Timur Tengah saat ini. Konflik sekterian tanpa konsensus nasional terus melanda meremukkan nadi peradaban.

Hadiah umat Islam terhadap Indonesia adalah Pancasila yang menjiwai visi Islam rahmatan lil alamin. Rahmat yang menghalangi konflik, kekerasan, penindasan dan pembunuhan dengan melindungi segenap seluruh tumpah darah Indonesia. Ajaran Islam yang tidak hanya memberikan rahmat untuk umat Islam, tetapi “ummah” bernama Indonesia.

Pada akhirnya, bangsa ini harus bersyukur mempunyai konsensus nasional yang dirumuskan secara brilian melalui ijtihad para pendiri bangsa ini. Konsensus ini harus dijaga karena merupakan vaksin bagi bangsa ini dalam menghadapi berbagai tantangan yang mengancam keutuhan bangsa ini. Konsensus ini merupakan warisan nasional yang harus dipelihara dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa.

Perjalanan bangsa ini masih cukup panjang. Tantangannya pun masih menjulang. Berbagai ideologi kanan dan kiri terus menggoyang. Virus radikalisme, ekstremisme, komunisme, dan liberalisme merupakan potensi yang terus menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa. Tetapi bangsa ini tidak boleh mengalah dengan keadaan yang bisa merunyamkan kondisi bangsa. Pewaris konsensus ini harus selalu siaga dalam menanamkan vaksin Pancasila dalam kehidupan yang multikultural ini. Virus yang menyerangkan visi kebangsaan ini akan terus menjalar yang hanya bisa dilawan dengan kekebalan ideologis seluruh masyarakat dengan memelihara, menjaga dan menjalankan Pancasila dalam kehidupan berbangsa.

This post was last modified on 22 Juni 2020 1:46 PM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

2 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

3 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

3 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

3 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

3 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

3 hari ago