Narasi

Waspada Adu Domba dan Harmoni Kebangsaan Kita

Di tengah silang sengkarut berbagai drama adu domba, rumah bernama Indonesia tak boleh goyah sedikitpun. Semua anak bangsa harus ikut berperan dan bertanggungjawab untuk memberikan semua yang dimiliki demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baik di jagat maya maupun dunia nyata, ancaman adu domba harus segera disingkirkan, karena Indonesia berdiri di atas semua golongan dan menjadi rumah bersama yang indah, nyaman dan penuh kedamaian. Siapa saja yang mengusik Indonesia, maka harus segera ditindak tegas, karena para pendiri bangsa sudah berjuang penuh ketulusan untuk Indonesia hari ini.

Berbagai jerat adu domba adalah sebuah pelanggaran terhadap negara hukum yang sudah dianut Indonesia. Penjelasan UUD 1945 mengatakan, antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Jadi jelas bahwa cita-cita negara hukum (rule of  law) yang tekandung dalam UUD1945 bukanlah sekedar negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan, yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter.

Menurut Meila Nurhidayati (2015), konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip utama dalam bernegara, yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan  HAM, pemerintahan berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi. Unsur-unsur rechtsstaat ini dapat dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep rechtsstaat tersebut tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Dengan demikian rechtsstaat memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan.

Dengan berpegang kepada hukum inilah harmoni kebangsaan ditegakkan bersama. Siapa saja yang mengadu-domba berarti melanggar kesepakatan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Negara hukum menjadi rujukan bersama, karena menurut Aristoteles, negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara. Keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya.

Berbagai kasus radikalisme dan terorisme menggunakan adu domba yang ditebar di dunia maya untuk mengaburkan status negara hukum yang ada di Indonesia. Dengan dalih menggunakan syariat Islam, seringkali mereka gagal memahami negara hukum yang sudah bangun para ulama Indonesia. Akhirnya, yang terjadi adalah politisasi syariat agama untuk kepentingan sesaat. Agama memang sangat “seksi” untuk dimanfaatkan memperkeruh dan memudarkan persatuan, padahal visi agama diturunkan untuk meredam konflik dan menyemai rasa aman dan damai antar sesama. Politisasi agama ini sangat berbahaya, bisa melanjutkan konflik berkepanjangan sebagaimana yang terjadi di Palestina dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Baik di Palestina maupun Iraq-Syria, politisasi agama digunakan untuk melanggengkan konflik dan kepentingan. ISIS menjadi fenomena mutakhir yang paling mengerikan, karena menjadikan agama untuk menghalalkan segala cara, termasuk membunuh siapa saja yang tidak sependapat.

Harmoni Kebangsaan

Di tengah berbagai politik adu domba, semua anak bangsa harus bersama-sama dalam membangun harmoni kebangsaan. Sejak lahir, Indonesia adalah negara yang dihuni oleh beragam kelompok, etnis, budaya, dan agama. Ini sudah melekat sangat kuat dalam jati diri bangsa. Untuk itu, mereka yang masih mempersoalkan Indonesia sebenarnya gagal paham dalam membaca sejarah bangsa ini. Mereka yang memperkeruh persatuan, mereka sejatinya ingin kembali menjajah bangsa. Padahal, amanat Pembukaan UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa negara ini melindungi semua tumpah darah Indonesia.

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dari sini, untuk menghadirkan harmoni kebangsaan, Indonesia membutuhkan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), antara lain dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme. Jiwa yang tenang dan jiwa yang resah menjadi pertarungan individu dalam gerak sejarah hidup manusia. Pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun satu hal yang unik di Nusantara adalah, sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.

Makanya, bagi Gus Dur, prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan Sunan Kalijogo —yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal— mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati.

Nilai-nilai luhur inilah yang menjadi pondasi berbangsa sampai saat ini. Berbagai adu domba yang menguat di media sosial dari kasus Rohingya justru harus meneguhkan nilai-nilai luhur itu dalam merangkai semua kerumitan dan mengurai semua problem yang terus terjadi. Sehingga, lahirnya konsensus kebangsaan bernama Pancasila dan NKRI yang menjadi rumah bersama semua anak bangsa.

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago