Salah satu isu yang paling dikhawatirkan oleh segenap elemen bangsa, tak terkecuali pemerintah, adalah menjamurnya berita bohong (hoax), ujaran kebencian, dan sejenisnya di media massa. Saking mengkhawatirkannya, dalam banyak, sampai-sampai hal ini juga pernah disinggung langsung oleh Presiden kita, Joko Widodo. Misalnya ialah saat beliau menghadiri acara Perkemahan Wirakarya Pramuka Ma’arif NU Nasional II (Perwimanas II) di Magelang, pertengahan September lalu.
Terlebih bahwa berita-berita yang sudah digoreng dan diberi bedak sedemikian rupa itu adalah seringkali menyudutkan pihak-pihak tertentu. Kebetulan yang sering dijadikan sasaran adalah Jokowi. Alih-alih mengkritik sebagai ungkapan kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh undang-undang, tidak sedikit orang yang berseberangan dengan Presiden justru malah menghina, merendahkan dan bahkan seringkali disertai fitnah.
Bahwa beliau adalah begini, begitu, dan sejenisnya. Yang itu kebanyakan adalah fitnah semata. Maka tidak heran jika beberapa waktu lalu kita mendapati beberapa pihak terpaksa berurusan dengan aparat penegak hukum, lantaran yang dilakukannya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) tentang Ujaran Kebencian dan/atau UU Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Karena, yang dilakukan bukanlah mengkritik tetapi menghina. Agaknya inilah yang disebut Haris Sumadiria (2016) bahwa kita telah menikmati atau justru babak belur akibat serangkaian uji coba pascareformasi.
Beliau tentu merasa tergelitik untuk menanggapinya. Karena sangat berbeda jauh antara mengkritik dan menghina. Perlu ditekankan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (1998), bahwa mengkritik (to critize) itu berbeda jauh dengan menghina (to insult). Mengkritik itu selalu baik karena sifatnya korektif dan konstruktif. Sendangkan menghina, kata Cak Nur, itu jahat dan bisa dituntut. Menghina cenderung melecehkan martabat orang lain. Di sinilah, seringkali kita tidak bisa membedakan kedua hal itu. Oleh sebab itu, kita harus mulai belajar. Terlebih di era yang kita elu-elukan, yakni era demokrasi. Yang di era ini kita dijamin kebebasannya mengemukakan pendapat.
Kita tentu bersepakat bahwa menghina, apalagi disertai fitnah, tidak saja tidak diinginkan, tetapi sangat berbahaya. Sejarah telah mencatat bahwa adanya saling hina-menghina dan juga fitnah, sejak zaman dahulu, hanya bermuara atau menjurus pada adu domba. Tidak sedikit suatu piha sekalipun atay rezim, sekalipun seagama, tidak segan-segan melakukan perang saudara hanya karena tindakan tak bertanggung jawab itu.
Dalam sejarah Islam, misalnya, hal tersebut dapat dilihat pada masa yang dikenal dengan sebutan fitnah besar (al-fitnah al-kubra). Sebagaimana dipahami, hanya kurang 30 tahun dari wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat saling melakukan pertikaian, perpecahan, saling memfitnah, saling mengejek dan lain sebagainya. Bahkan saling menikam dan saling membunuh. Puluhan ribu orang tewas dalam perang saudara semasa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib. Umat Islam terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Dan, tiap-tiap kelompo merasa paling benar, menyesatkan pihak lain, dan merasa sah-sah saja membunuh, bahkan melenyapkan golongan lain (Achmad Chodim, 2008: 100).
Oleh sebab itu, kita perlu menyadari akan bahaya adu domba ini yang, salah satu penerapannya adalah dilakukan dengan cara menghina yang acapkali itu juga disertai fitnah. Menghina dan/atau mengina, tanpa perlu diperdebatkan secara panjang-lebar, semuanya tentu sepakat bahwa itu sangatlah merugikan, karena bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Pada dasarnya setiap orang suka dengan kebaikan. Tidak suka dicela, dihina, ditindas, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut fitrah. Sebagaimana disinggung di muka, bahwa dewasa ini kita sedang menghadapi zaman “edan”. Zaman penuh kebebasan yang tidak mengetengahkan moral. Karenanya, jangan sampai kita ikut-ikutan terjerumus dalam kubangan kesesatan yang sengaja didesain oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah persatuan bangsa kita.
Kita harus senantiasa mewaspadai dan juga mengantisipasinya. Beragam cara yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab itu untuk melancarkan aksinya. Dan media massa, dengan kebebasan informasi yang melekat bersamanya, adalah satu media yang ampuh untuk melakukan propaganda. Hampir bisa dipastikan, bahwa saat ini informasi yang beredar nyaris bercampur baur antara kebenaran dan kepalsuan. Keduanya nyaris sulit dibedakan. Dan yang saat ini sedang marak-maraknya adalah ujaran kebencian, hoax, fitnah dan lainnya. Oleh sebab itu, di era reformasi seperti sekarang ini, sudah sejatinya kita melakukan literasi yang pada dasarnya adalah bersikap kritis atau melek terhadap segala informasi yang kita terima.
Kita jangan mudah mempercayai sebuah informasi dan bahkan menelannya secara mentah-mentah. Apalagi jika informasi itu sarat provokasi. Literasi ini sangat penting sekali untuk dilakukan. Karena, selain informasi itu akan berpengaruh dengan pola fikir, sikap, dan laku kita secara pribadi. Pada saat yang bersamaan, seringkali kita dengan mudah menyebarkan informasi itu melalui media sosial dan sejenisnya. Bayangkan jika informasi yang kita sebarkan itu adalah informasi yang tidak benar. Maka dapat dipastikan bahwa kita sama saja menyebarkan kesesatan di satu sisi, dan kita juga telah ikut serta membantu melancarkan pihak-pihak tertentu menjalankan misinya. Jangan sampai ini terjadi!!! Wallahu’alam
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…