Narasi

Waspada Aksi Balas Dendam Teroris

Densus 88 terus mengejar orang-orang yang masuk dan terafiliasi dengan kelompok radikal. Tanggal 27 April kemaren Munarman, seorang mantan anggota sekjen FPI, sebuah organisasi yang saat ini diduga keras terjangkit paham radikal, ditangkap oleh Densus 88 di rumahnya di Tangerang. Memang saat ditangkap tidak banyak melakukan perlawanan. Dia merupakan kuasa hukum Muhammad Riziq Syihab, imam besar FPI yang beberapa waktu sebelumnya ditangkap dengan kasus yang berbeda.

Banyak orang membantah keterlibatan FPI dengan paham radikal teroris. Walau pun sudah beredar luas video Rizieq Syihab secara terang-terangan mendukung aksi-aksi ang dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah. Demikian juga, dalam beberapa video yang beredar luas di masyarakat, Munarman  tampak ikut serta menyaksikan pembaitan anggota FPI kala itu terhadap ISIS. Syahdan, beberapa waktu sebelumnya, dari 21 orang teroris  yang ditangkap di Makassar, 19 orang diantaranta merupakan anggota FPI. Walau demikian, ketika dikonfirmasi dalam wawancara di televise swasta, Munarman membantah keterlibatannya dengan pembaitan tersebut.

Tulisan ini tidak dalam rangka memperdebatkan apakah FPI Munarman dan FPI terafiliasi dengan teroris karena itu wilayah pengadilan. Namun yang hendak disasar oleh tulisan ini adalah upaya membaca terhadap perlawanan kelompok teroris pasca terjadi penangkapan, baik hidup atau pun mati, terhadap petinggi teroris. Jamak diketahui bahwa teroris bukanlah orang yang dididik secara sabar dalam menghadapi masalah melainkan dicetak untuk menjadi mesin pembunuh yang amis darah orang-orang yang tidak berdosa. Mereka tidak akan takut sedikit pun melakukan aksi balas dendam sekalipun agama Islam melarangnya. 

Pada tanggal 28 Maret 2021 ini terjadi aksi bom bunuh diri di Gerea Katedral Makassar. Pelakunya adalah suami istri. Polisi mengungkap motif di balik aksi itu adalah balas dendam karena seorang teroris, M Rizaldi,  ditembak mati oleh polisi. Tahun 2020 seorang teroris melakukan penusukan terhadap seorang polisi di Kalimantan dengan pura-pura melapor. Motif dibalik itu juga sama, balas dendam. Tahun 2018 juga terjadi  aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga di sebuah tiga Gereja di Surabaya. Menurut polisi, pengeboman ini terjadi karena kelompok teroris itu ingin melakukan aksi balas dendam setelah terdesak di dunia internasional.

Dalam gerakannya, teroris itu seringkali melakukan aksi namun jika ada yang ditangkap maka mereka segera merencanakan aksi balas dendam sebagai reaksi terhadap penangkapan salah seorang dari kelompoknya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia, khususnya aparat kepolisian harus lebih ekstra hati-hati dalam bergerak. Hawatir, aksi balas dendam dari kelompok teroris itu terjadi pasca penangkapan Munarman yang diduga telah banyak melakukan pembaiatan kepada ISIS.

Pertanyannya, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk menghindari aksi balas dendam itu? Ada tiga. Pertama, menanamkan persatuan yang lebih erat. Persatuan dan kerukunan merupakan kata kunci dalam memberantas aksi terorisme. Persatuan menghendaki adanya kesamaan rasa untuk saling menjaga kehidupan antara satu dengan yang lain. Terorisme sangat anti terhadap persatuan ini. Mereka justru mencipta tembok pemisah yang sangat eksklusif dari dunia sosial. Jika bangsa ini semakin mempererat persatuan, bisa dipastikan teroris tidak menemukan celah untuk menyebarkan ideologinya.

Kedua, gerakan perlawaanan secara massif. Sampai saat ini, para penegak hukum khususnya kepolisian yang berhadapan langsung dengan kelompok teroris, selalu menjadi target utama aksi tterorisme, baik dengan bom bunuh diri atau pembunuhan secara langsung. Oleh karena itu, para penegak hukum tidak boleh dibiarkan berjalan sendirian. Dibutuhkan perlawanan secara terus menerus dari semua pihak dari cara. Salah satunya adalah membentengi keluarga dari ideology teroris. Semua orang, khususnya umat Islam, tidak boleh lagi merasa “tidak enak” untuk menegur keluarga besar yang diduga sudah terjangkit virus radikal.

Dan terakhir, membaca celah mencurigakan. Seluruh orang, siapa pun, harus memiliki kepekaan dalam membaca gerak gerik teroris. Jika ada hal yang mencurigakan, hendaknya dihindari kemudian dilaporkan. Sudah bukan watunya menudiang bahwa terorisme merupakan pengalihan isu. Terorisme bukan candaan tapi ancaman.

This post was last modified on 28 April 2021 12:52 PM

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago