Narasi

Waspada Benih Radikalisme Sejak Dini : Melindungi Anak, Melindungi Masa Depan Bangsa

Di era digital seperti sekarang ini, fenomena radikalisme telah bermetamorfosa dari bentuk lama ke bentuk baru; dari pola konvensional bertransformasi dalam bentuk digital. Digitalisasi radikalisme atau radikalisasi digital menjadi fenomena baru yang lebih merepotkan. Kompleksitas dimensi radikalisme pun semakin pelik.

Banyak sekali yang menyederhanakan terorisme hanya sebagai bentuk kekerasan. Apa yang tidak dipahami bahwa terorisme adalah wujud atau hasil dari pemahaman yang mengarahkan pada aksi kekerasan. Karena itulah, sesungguhnya yang menjadi cukup pelik untuk diatasi bukan sekedar aksi terorisme, tetapi fase di mana seseorang bisa terperangkap dalam proses radikalisasi.

Hari ini, dengan kecanggihan teknologi dan informasi, radikalisasi bukan hanya terjadi di dunia nyata, penanaman sikap radikalisme juga bisa di lakukan di dunia virtual. Dalam beragam kasus banyak kita temui jika radikalisme kini telah menyasar pada generasi muda dengan rentan usia 18-25 tahun. Bahkan, ternyata radikalisasi sejak dini ditanamkan ke anak-anak.

Dalam proses penyemaian radikalisasi, kelompok radikal sangat paham betul cara untuk mengambil kanal-kanal sosial. Hal yang tidak disadari, ideologi radikal kadang disisipkan dalam bentuk penanaman intoleransi dan doktrin heroik dan militant. Dalam penanaman paham radikal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan cara pembaiatan secara langsung dan juga dengan cara mempengaruhi mereka dengan melibatkan media internet khususnya media online.

Penanaman terbaik oleh kelompok radikal banyak dilakukan di kalangan anak-anak secara lembut dan halus melalui doktrin heroisme dan militansi. Karena itulah anak ketika tumbuh dewasa mudah terprovokasi oleh narasi yang seolah menarasikan pembelaan dan penyelematan kelompok. Tidak mengherankan jika banyak pelaku atau yang dikenal pengantin aksi teror adalah generasi muda. Proses itu tidak instan tetapi telah dimulai lama melalui pembibitan narasi radikalisme.

Benih Intoleransi Sejak Dini

Media internet memiliki peran yang cukup besar bagi kelompok radikal dalam meningkatkan propaganda, membangun jaringan, berkomunikasi antar jaringan, bahkan dengan media online mereka juga bisa merekrut anggota baru. Dengan adanya media sosial yang bisa dirambah oleh semua kalangan masyarakat terutama mereka para pelajar yang masih menggunakan sistem pembelajaran daring, dapat mengakses situs radikal secara mudah.

Proses radikalisasi kepada anak tidak harus langsung berupa kekerasan fisik yang terlihat, namun mereka lebih menggunakan media pendekatan dengan melalui pendidikan dengan penanaman intoleransi yang akan mampu menyuburkan sikap radikal ketika anak-anak tumbuh dewasa kelak. Narasi itu membelah wawasan anak dari merasa banyak kawan menjadi banyak lawan.

Kini media online mampu menjadi wadah dalam pengembangan radikalisme dengan menawarkan kebebasan dan keterbukaan. Setiap kalangan dengan mudah bisa mengakses berita apapun dari media online. Sayangnya, yang tidak banyak disadari bahwa media online sangat berpotensi untuk mengaburkan realita yang terjadi di lapangan serta mampu membelokkan informasi yang sebenarnya sesuai ideologi yang mereka kembangkan.

Karena itulah pentingnya orang tua dalam mendidik anak dan juga mengawasi anak ketika mereka mengerjakan pekerjaan mereka secara daring. Orang tua haruslah sadar bahwa melindungi anak tidak hanya sebatas menjaga gizi yang bagus untuk perkembangan mereka. Namun yang terpenting ialah memberikan gizi berupa wawasan yang bermutu kepada anak.

Setiap orang tua harusnya mampu bertanggungjawab untuk perkembangan anak-anak mereka. Karena itu pentingnya peranan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan yang tepat untuk mereka dapat membantu mengarahkan sang anak supaya tidak terkecoh dengan banyaknya konten-konten penanaman sikap intoleran yang kini telah banyak tersuguhkan di media sosial.

Menangkal Virus Radikalisme melalui Pendekatan Parenting

Sebagai orang tua kita juga harus mengetahui perubahan sikap yang terjadi pada anak serta harus cepat tanggap jika melihat anak-anak telah menunjukkan gejala-gejala yang di luar sikapnya yang sebelumnya. Sikap yang harus diwaspadai ialah ketika anak-anak mulai membenci orang di luar agamanya, mulai bersifat keras, dan bahkan tidak mau berteman dengan teman yang dinilai tidak satu golongan dengannya.

Karena itu, orang tua harus mengenal anaknya dengan baik, supaya dapat melihat perubahan yang terjadi pada si anak. Sikap proaktif orang tua dalam memantau praktik pendidikan secara daring dan secara aktif berdialog dengan anak-anak di rumah merupakan cara terbaik melindungi anak. Untuk menciptakan lingkungan toleran, orang tua dapat melakukan pendekatan serta kerjasama di semua lingkungan sekitar anak.

Kita harus menyadari bahwa, tidak ada anak yang terlahir dengan membawa sikap intoleran jika tidak ditanamkan pada mereka. Oleh karenanya, untuk menjaga anak-anak dari praktik-praktik intoleransi, anak-anak harus dibiasakan untuk terbuka kepada orang tuanya. Karena dengan sifat terbuka orang tua akan mamppu mengontrol apa yang terjadi di luar sepengetahuannya.

Jika terjadi kesalahan atau doktrinisasi kepada anak, orang tua hendaknya memberikan pendekatan secara bertahap dan dengan cara halus. Karena jika orang tua memberikan tekanan yang berlebih kepada anak, malah akan membuat anak menjadi merasa tersudutkan. Sikap inilah yang dapat memicu anak untuk mulai merahasiakan informasi apapun yang dia terima dari orang tua.

Dan sikap seperti inilah yang nantinya mampu pupuk yang subur bagi sikap intoleran jika di biarkan lama-lama sikap intoleran tersebut akan mampu berubah menjadi sikap radikal yang tidak disadari oleh sang anak itu sendiri. Orang tua wajib membekali anak-anak dengan karakter mengasihi, menghargai, dan menerima orang lain apa adanya.

Melalui momentum Hari Anak Nasional 2021 dengan tema Lindungi Anak, Indonesia Maju merupakan kesempatan berharga untuk menggagas gerakan menjaga anak dari virus radikalisme. Radikalisasi anak tidak berbicara tentang hari ini tetapi tentang masa depan anak dan masa depan bangsa. Menjaga anak kita, berarti menjaga masa depan bangsa.

This post was last modified on 23 Juli 2021 3:06 PM

Septi Lutfiana

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago