Narasi

Berkurban untuk Bangsa dan Negara

Ibadah kurban merupakan mata rantai dari ibadah haji, berasal dari kata dasar qaraba-qurban, yang secara harfiah berarti mendekatkan diri kepada Tuhan. Bentuk peribadatan ini tentu saja tidak bisa menafikan peran sosial atau orang lain. Ia bukan semata-mata ibadah individual si pelaku kurban kepada Tuhan, tetapi juga terdapat unsur kepentingannya bagi si pelaku dan lebih luas lagi bagi sesama manusia.

Artinya, seorang muslim hanya dapat dikatakan dekat kepada Allah Swt. jika senantiasa dekat dengan sesamanya yang berkekurangan dalam hidup. Apabila seorang muslim memiliki kenikmatan, dia membagikan kenikmatan itu kepada orang lain, terutama yang berkekurangan. Kepada korban covid-19, misalnya, apa yang bisa kita bantu untuk mengurangi beban hidup dan penderitaannya?

Makna sosial

Dalam konteks yang lebih luas dan aktual, masyarakat Indonesia, kini benar-benar diuji dalam suasana idul kurban, dengan melakukan pengorbanan ego. Apa itu? Pemerintah telah melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dimulai sejak 3 hingga 20 Juli, lalu diperpanjang sampai 25 Juli mendatang. Kebijakan ini dilakukan sebagai ikhtiar pemerintah untuk mengerem laju korban yang positif Covid-19 yang sejak awal Juli mengalami peningkatan tajam.

Apa hubungannya dengan perayaan Idul Adha? Dalam hal ini, interpretasi terhadap kurban tidak hanya pada aspek ritual-historis dan teologis semata, tetapi juga pada aspek aktualisasi sosial-kemasyarakatan. Contohnya, melakukan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 dan menahan diri untuk tidak keluar rumah, kecuali jika memang sangat perlu, juga merupakan internalisasi dan aktualisasi dari ibadah kurban itu sendiri, yaitu “menyembelih ego” demi kesehatan dan keselamatan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Sedangkan secara teologis, seekor hewan kurban hanyalah representasi dari keharusan berkurban yang lebih besar dari yang kita miliki bagi kepentingan orang banyak yang membutuhkan, sebagai wujud kecintaan kepada tuhan yang teraktualisasikan dalam kecintaan terhadap sesama umat manusia (Nashir, 1997).

Dengan semangat ibadah kurban, seyogiyanya dapat menggerakkan dan mengembangkan kesadaran sosial setiap orang yang memiliki aset ekonomi dan kekuasaan berlebihan untuk melakukan pemerataan sosial ekonomi yang lahir dari kesadaran internal (moral). Dari kesadaran moral dan sosial yang demikian diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi proses pembangunan keadilan sosial dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Jika sekiranya masih ada seorang muslim yang kaya dan berkuasa membiarkan ketimpangan sosial ekonomi berlangsung, sedangkan rakyat kebanyakan masih hidup dalam kekurangan dan banyak terugikan oleh sistem yang kini berkembang, maka tak ada salahnya bila meninjau ulang kembali “kualitas” ibadah-ibadah ritual keagamaanya. Termasuk ketika menunaikan ibadah kurban di hari Idul Adha yang sarat pesan spiritual dan sosial itu.

Makna teologis

Ibadah kurban merupakan napak tilas dari pengalaman keagamaan Nabi Ibrahim dan putra kinasihnya, Ismail. Karena rasa cintanya yang amat sangat kepada Tuhannya, Ibrahim berani mengambil resiko dengan mengorbankan anaknya untuk disembelih setelah mendapat titah dari-Nya lewat mimpi. Padahal, Ismail terlahir di dunia lantaran panjatan do’a Ibrahim yang dikabulkan oleh Tuhan setelah sekian lama istrinya, Siti Hajar, tak jua melahirkan.

Kendatipun kemudian Allah Swt. memberikan perintah lanjutan agar Ibrahim menggantikan kurban atas Ismail dengan seekor domba, langkah pengabdian Ibrahim dan Ismail itu sungguh merupakan ibadah dan pengorbanan yang syarat dengan resiko. Dengannya, kita dituntut untuk meneladaninya dengan memberikan sepenuhnya rasa cinta kita kepada Sang Khaliq, mengalahkan rasa cinta kepada harta, bahkan jiwa sekalipun.

Tak heran bila al-Qur’an sendiri mengabadikan peristiwa bersejarah itu dalam penggambaran dialog yang dialogis dan demokratis antara seorang bapak dengan anaknya. Dikisahkan oleh al-Qur’an, ketika Ibrahim berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi dalam tidur, bahwa aku menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu?” Ismail yang masih muda belia, menunjukkan kepasrahan serupa. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar” (Q.S. as-Shoffat: 102).

This post was last modified on 23 Juli 2021 2:19 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

10 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

10 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

10 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago