Tidak ada angin, tidak ada hujan, politisi sepuh yang saat ini menjadi punggawa partai gurem “Partai Ummat”, Amien Rais menggaungkan wacana people power. Wacana itu ia kemukakan dalam acara dialog bertajuk “Rakyat Bertanya, Kapan People Power” yang diadakan ormas Megabintang. Diskusi itu sendiri digelar pada Minggu, 11/06/2023 di Gedung Umat Islam Kartopuran, Solo.
Amien Rais memang tokoh yang tidak pernah lepas dari kontroversi. Pasca didepak dari PAN, partai yang turut didirikan dan dibesarkannya pasca Reformasi, 1998 ia seolah menjadi gelandangan politik. Sebagai gelandangan politik yang mulai kehilangan pamor, ia berkali-kali mengeluarkan pernyataan kontoversial.
Mulai dari pernyataanya dia tentang partai Allah dan partai setan, Pilpres dan Pemilu sebagai perang badar, dan sederet kontoversi lainnya. Termutakhir, ia mengeluarkan pernyataan tentang people power sebagai bentuk ancaman terhadap pemerintahan Joko Widodo. Semua itu dilakukannya kemungkinan besar dilatari motif agar tetap menjadi perbincangan di panggung politik nasional.
Sebagai petinggi parpol yang terendam tidak lolos ke parlemen, ia tentu harus menarik perhatian publik. Sayangnya, strategi menarik perhatian itu dilakukan dengan cara-cara tidak simpatik.
Wacana People Power Tidak Mungkin Terwujud di Indonesia Kekinian
Pernyataan Amien Rais tentang people power itu sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. Baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Ada setidaknya dua alasan mengapa wacana yang dikemukakan Amien Rais layak dianggap sebagai angin lalu saja.
Pertama, kondisi sosial-politik Indonesia saat ini tidak memungkinkan atau mendukung bagi munculnya gerakan people power. People power kerap dipahami sebagai sebuah gerakan sosial-politik yang menginginkan perubahan radikal atau revolusioner di sebuah negara.
Gerakan people power umumnya muncul karena dilatari oleh faktor kegagalan pemerintah dalam menciptakan stabilitas sosial dan politik. People power juga kerap muncul ketika negara mengalami krisis ekonomi yang akut. Salah satu contoh people power dalam konteks Indonesia adalah gerakan Reformasi 1998 yang berhasil mengakhiri kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun.
Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, maka tidak ada situasi sosial atau politik yang bisa menjadi faktor pemicu munculnya people power. Seperti kita liat, situasi ekonomi kita baik-baik saja. Bahkan, Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang bisa bertahan di tengah badai ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Demikian pula dari sisi sosial-politik, Indonesia nisbi bisa dikatakan sebagai negara yang demokrasinya paling stabil. Hasil survei SMRC baru-baru ini menyebutkan bahwa angka kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah mencapai 81 persen. Artinya, publik percaya dengan pemimpin dan pemerintahnya.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa tidak ada situasi ekonomi, sosial, dan politik yang memungkinkan munculnya gerakan people power.
Mencegah Provokasi di Tahun Politik
Alasan kedua, sosok yang menggaungkan gerakan people power itu sendiri nyatanya sudah tidak memiliki power. Amien Rais yang sekarang beda dengan sosoknya di era 1998. Di masa itu, ia adalah sosok penting di balik gerakan Reformasi yang dimotori para mahasiswa. Sosoknya yang intelektual dan organisator mampu menggerakkan massa untuk menuntut perubahan politik.
Sedangkan saat ini, Amien Rais tidak lebih dari politisi sepuh, yang tertatih-tatih mempertahankan popularitas dan pamornya. Ia tidak lagi memiliki basis massa pendukung yang solid. Bahkan, PAN yang dulu identik dengan dirinya pun tega mendepaknya. Ia lebih kerap menjadi bahan lelucon bagi publik, khususnya di kalangan anak muda.
Pendek kata, sosok Amien Rais bukanlah figur yang memiliki modal intelektual, sosial, dan kultural untuk menggulirkan wacana people power.
Meski demikian, kita patut waspada terhadap wacana people power ini. Meski bagaimana pun, wacana people power rawan disalahpahami masyarakat. bagaimana pun juga, seruan people power ini merupakan narasi provokatif yang berusaha membangkitkan sentimen kebendian dan sikap anti-pemerintah.
Bahkan, bukan tidak mungkin seruan people power ini memunculkan gelombang pembangkangan, atau tindakan makar. Apalagi memasuki tahun politik yang serba panas ini, segala isu kontroversial rawan dieksploitasi untuk kepentingan politik sesaat. Maka, sekecil apa pun potensi kericuhan tetap harus diminimalisasi dan dicegah sedini mungkin.
Di tahun politik ini, para tokoh publik, entah itu itu elite politik atau tokoh agama idealnya menahan diri untuk mengeluarkan pernyataan yang menyulut kontroversi dan polemik. Seluruh komponen bangsa, utamanya para figur publik memiliki tanggung jawab untuk menjaga situasi sosial dan politik tetap stabil dan kondusif.
This post was last modified on 20 Juni 2023 12:26 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…