Seorang santri, yang jelas-jelas akrab dengan ibadah-ibadah yang syar’ikan, mendekati dan belajar dengan orang-orang yang tak pernah mengenal masjid, apalagi dalam hal-hal yang konon menjadi core dari sebuah agama: ketuhanan. Golongannya pun sontak menertawai penuh ejek, karena bagi mereka logika Tuhan adalah seturut dengan logika agama.
Ketika diselami, tawa penuh ejek seperti itu pada dasarnya adalah sebersit ketakterimaan hati dalam menerima sebuah fakta, yang persis sebagaimana logika Tuhan yang nyatanya juga kerap tak sebangun dengan logika orang, tak peduli seberapa baik atau seberapa suci yang bersangkutan dalam kacamata agama.
Pernah didengung-dengungkan sebuah pandangan bahwa karena orang Islam adalah mayoritas di negeri ini, maka pantaslah seandainya ia menjadi warganegara kelas pertama. Dalam tradisi studi Islam pandangan semacam ini lazim dilabeli sebagai pandangan sektarian yang memiliki kecenderungan buruk bagi negara yang demokatis dan plural.
Kerapkali kemudian masalah timbul ketika pandangan sektarian semacam itu gagal total, apalagi ketika berkaitan dengan agenda-agenda politis. Sebenarnya klise untuk menyebut hingar-bingar politik yang cenderung tak objektif sebagai sebentuk ekspresi ketakterimaan hati atas melesetnya sebuah agenda. Beruntung juga kegagalan agenda politik semacam itu tak pula menurunkan kadar keimanan atas glorifikasi agama yang telah terbangun sejak lama.
Pasca ordebaru, dimana aspirasi dengan segala macam kecenderungannya seperti menemukan jalannya, sangat gamblang bahwa pandangan sektarian semacam itu adalah sebagaimana jamur yang merebak di musim penghujan. Gerakan-gerakan, organisasi-organisasi, dan bahkan partai-partai politik yang berbasiskan ideologi tetentu yang lebih bersifat khusus dengan murahnya dapat menjual dirinya kepada khalayak. Pandangan sektarian bahwa karena orang Islam adalah mayoritas di negeri ini, yang karenanya sudah sepantasnya kalau ia menjadi warganegara kelas pertama, lalu mendapatkan struktur yang membuatnya dapat tampak gagah.
Orang tentu masih ingat tentang lelucon politik pasca 2014, bahwa “karena saya Katolik, maka saya adalah pendukung Jokowi.” Dari lelucon ini, maka orang menjadi paham bahwa aspirasi politik sektarian jelas telah terstrukturisasi, yang mau tak mau, juga berimbas pada wilayah hubungan antar-agama. Dari lelucon itu pun jelas bahwa “agenda politik Islam” adalah sebuah hal yang nyata.
Kecenderungan untuk saling curiga antar sesama komunitas agama dan kepercayaan akhirnya terpupuk karena sektarianisme dalam dunia politik. Tentu orang masih ingat pula tentang beberapa kasus bernuansa keagamaan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa politik, dimana pekik kafir sedemikian murahnya diobral kepada orang yang tak sepemahaman. Tuhan pun, kemudian, serasa kalah kuasa dengan (orang-orang) agama.
Namun, di atas semua itu, ternyata logika Tuhan memang bukanlah sepersis logika agama. Sebagaimana sang santri di awal tulisan ini, meskipun para kawan dan gurunya seperti tak pernah mengenal masjid, tentang kekuasaan Tuhan ternyata mereka lebih dapat memahami dan meletakkannya.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…