Narasi

Zakat Fitrah, Pemberdayaan Umat dan Agenda Moderasi Beragama

Kemeriahan Ramadan akan segera berlalu. Nuansa Ramadan yang khas akan segera pergi dan perlu menunggu setahun lagi untuk bisa menikmati kembali. Namun, di sisa-sisa hari terakhir Ramadan ini, kita tentunya masih bisa mereguk kemuliaan dan kesucian Ramadan. Tentu dengan memperbanyak ibadah dan amal soleh. Ramadan memang bulan mulia, dimana segala sesuatu bisa dihitung ibadah. Bahkan, kita kerap berseloroh bahwa tidur di bulan Ramadan pun akan dihitung ibadah.

Dalam pembacaan antropolog Andre Moller, puasa Ramadan ialah induk ritus. Istilah itu menggambarkan bagaimana puasa Ramadan melahirkan ritus keagamaan baru yang di luar Ramadan cenderung tidak disakralkan. Moller mencontohkan bagaimana makan yang diluar Ramadan dianggap hal biasa dan tidak berkaitan dengan agama, namun di bulan Ramadan justru dianggap sakral. Berbuka puasa dan sahur di bulan Ramadan merupakan ritus keagamaan yang mendatangkan pahala.

Salah satu sub-ritus penting bulan Ramadan ini ialah membayar zakat fitrah. Barangkali terlalu klise untuk menyebut bahwa zakat fitrah ialah ibadah yang bisa menyucikan jiwa sekaligus berdampak sosial bagi umat. Namun, itulah kenyataannya. Zakat fitrah merupakan sarana membersihkan jiwa dari kerak-kerak dosa baik karena melanggar aturan agama maupun dosa sosial karena berbuat salah terhadap sesama.

Selain itu, zakat fitrah juga bisa menjadi sarana pemberdayaan umat. Terutama dalam lingkup kecil yakni memastikan tidak ada satu pun umat Islam yang kelaparan saat perayaan Idul Fitri. Tentunya spirit berbagi ini harus terus dilanggengkan agar tercipta kesejahteraan yang merata. Beruntung, Islam sendiri tidak hanya mengenal zakat fitrah, namun juga mewajibkan umatnya untuk membayar zakat mal. Selain kewajiban zakat, praktik sedekah, infaq, dan sejenisnya juga disunnahkan dalam Islam.

Filantropi Islam

Aktivitas filantropi dalam Islam memiliki basis yang kuat, baik secara tekstual maupun kontekstual. Sejak awal berkembangnya Islam di Jazirah Arab, isu pemberdayaan umat berbasis charity sudah menjadi perhatian utama Islam. Zakat fitrah sebagai salah satu manifestasi konkret filantropi Islam kiranya bisa dikelola secara maksimal. Penyaluran zakat fitrah harus tepat sasaran yakni menyasar kelompok miskin dan rentan lainnya. Jangan sampai, Idul Fitri hanya bisa dirayakan oleh golongan tertentu saja.

Menariknya lagi, zakat yang diorientasikan tidak hanya sebagai sarana penyucian jiwa namun juga memberdayakan umat ini berkorelasi positif pada agenda moderasi agama. Selama ini, fenomena radikalisme agama erat kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi umat. Secara sosiologis, radikalisme agama kerap dilatari oleh setidaknya dua faktor. Pertama, pandangan keagamaan yang kaku, eksklusif dan tekstualis sehingga melahirkan klaim kebenaran dan arogansi beragama.

Kedua, kondisi sosial-ekonomi yang dipenuhi oleh ketimpangan sosial dan kesejangan ekonomi. Di banyak negara, isu ketimpangan sosial dan kecemburuan ekonomi telah menjadi bahan bakar paling efektif untuk menyulut konflik sektarian berbalut agama. Dalam hal ini, agama kerap hadir belakangan sebagai alibi atau semacam alat untuk menjustifikasi aksi kekerasan terhadap kelompok lain. Contohnya saja, kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia di awal era Reformasi pada dasarnya berakar dari ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Radikalisme dicirikan oleh setidaknya tiga hal. Pertama pola pikir eksklusif, yakni menutup diri dari berinteraksi dan berelasi dengan kelompok lain. Kedua, fanatik yang merasa diri dan kelompoknya paling benar dan menganggap kelompok lain sesat. Ketiga, intoleran yakni sikap diskriminatif pada destruktif pada kelompok lain.

Menangkal Radikalisme

Kemiskinan dan radikalisme agama, bagaimana pun merupakan dua hal yang saling terkait. Maka, agenda moderasi agama mau tidak mau harus menyentuh bidang garap isu ekonomi dan sosial. Agenda moderasi beragama mustahil berhasil manakala problem kesenjangan sosial dan kecemburuan ekonomi masih terjadi di dunia Islam. Seperti pernah dikatakan mending Gus Dur, “perdamaian tidak akan tercipta tanpa keadilan dan kesejahteraan”.

Di titik inilah korelasi antara zakat dan agenda moderasi beragama. Meski sedikit, kewajiban zakat fitrah akan menyumbang andil pada keberhasilan moderasi beragama. Masyarakat yang hidup sejahtera cenderung lebih sulit terjerumus dalam paham atau gerakan radikal. Disinilah diperlukan desain pemberdayaan masyarakat berbasis agama yang mampu mencegah umat terjebak pada nalar radikalisme. Menurut Ahmad Mudjani, setidaknya ada tiga strategi untuk memberdayakan masyarakat.

Pertama, melalui kebijakan dan perencanaan serta pembukaan terhadap akses yang lebih merata utamanya dalam hal sumber ekonomi dan finansial. Di titik ini, masyarakat hendaknya memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya. Tujuannya agar masyarakat memiliki ketahanan ekonomi baik secara domestik maupun publik.

Kedua, melalui aksi sosial-politik yakni menggulirkan perubahan dengan mengorganisasi kekuatan masyarakat ke dalam negosiasi-negosiasi politik. Dalam alam demokrasi, cara-cara pengorganisasian massa ini cukup efektif dalam mengintervensi kebijakan pemerintah agar berpihak pada kepentingan masyarakat. Ketiga, melalui pendidikan yakni proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan.

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, pemberdayaan masyarakat Indonesia kiranya bisa dilakukan dengan bertumpu pada nilai Islam. Salah satunya dengan mengoptimalkan signifikansi zakat fitrah dalam pemberdayaan umat yang bertujuan menyokong agenda moderasi agama. Pemberdayaan umat inilah yang akan meningkatkan ketahanan sosial terutama dalam menghadapi arus radikalisme agama.

This post was last modified on 6 Mei 2021 1:26 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

20 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago