Keagamaan

Zakat merupakan Jihad Sarat Cinta Kasih

Sungguh indah agama Islam mengatur kehidupan manusia. Umat Islam tak saja diseur untuk sekadar mentaati Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa belaka, namun juga dituntut untuk berdamai dengan sesama. Seorang muslim tidak cukup hanya mendirikan shalat tanpa membayar zakat. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 43). Bahkan, di dalam Taariikh Baghdaad, Al-Imam Abu Bakr Al-Khathiib Al-Baghdadi RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Senantiasa puasa seorang hamba tergantung di antara langit dan bumi, hingga ditunaikan zakat fitrah.”

Kedua dasar utama (al-Qur’an dan hadits) tersebut merupakan gambaran kecil betapa agama Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan atau cinta kepada sesama (hablu minannas). Seorang muslim yang sangat taat menjalnkan ibadah vertikal kepada Allah SWT namun lupa terhadap sesama belum dikatakan sebagai seorang muslim sejati. Sebaliknya, orang yang sangat baik terhadap sesama namun tidak pernah menjalankan ibadah-ibadah mahdhah juga tidak dibenarkan. Sehingga, seorang muslim harus memiliki kedua keshalihan sekaligus, baik secara ritual maupun sosial.

Bermula dari sinilah, zakat fitrah yang diwajibkan bagi seluruh umat muslim, bahkan terhadap bayi yang baru saja lahir ataupun orang tua yang sudah udzur, mesti memiliki makna tersendiri di dalam kehidupan bersama. Pemberian zakat jangan sampai hanya bersifat ritual yang dilakukan dalam rangka menggugurkan kewajiban agama. Distribusi harta dan makanan ini mesti menjadi media pendidikan agar umat muslim semakin memiliki rasa cinta kasih terhadap sesama.

Tengoklah delapan golongan penerima zakat. Fakir (orang yang tidak memiliki harta), miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), riqab (hamba sahaya atau budak), gharim (orang yang memiliki banyak hutang), mualaf (orang yang baru masuk Islam), fisabilillah (pejuang di jalan Allah), ibnu sabil (musafir dan para pelajar perantauan), hingga amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat) merupakan kelompok orang yang memiliki kelemahan, baik secara materiil maupun spiritual. Dari keseluruhannya, hanya amil zakat yang tidak termasuk golongan orang lemah.

Analisis kasar, para orang-orang lemah merupakan orang yang memiliki potensi besar merasakan kesusahan. Bagi mereka yang lemah secara harta, semisal fakir, miskin, dan gharim, memiliki potensi merasa susah karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan. Maka, dengan adanya pemberian zakat inilah diharapkan mereka akan merasakan kurangnya beban penderitaan menjalani kehidupan. Sementara, orang yang lemah secara spiritual, semisal mualaf, juga memiliki potensi rasa susah yang tinggi. Untuk itu, sebagai pelipurnya, ia diberikan harta ataupun bahan makanan sehingga rasa kebersamaan pun semakin terjalin erat.

Maka, tidaklah berlebihan ketika zakat dapat dikatakan sebagai upaya jihad menyebarkan agama Islam secara santun. Di dalam distribusi zakat tidak ada ancaman terhadap sesama muslim ataupun agama lain. Justru pembagian zakat merupakan ungkapan rasa cinta seorang muslim yang memiliki harta berlebih kepada sesama. Hal ini mampu menjadikan seluruh umat muslim yang terkotak-kotak ke dalam kelas ekonomi merasakan aroma kebersamaan. Dengan cara seperti ini, orang kaya diharapkan tidak merasa hina bersama dengan orang-orang miskin. Sebaliknya, orang miskin diharapkan juga tidak merasa minder berhadapan dengan sesama muslim yang kaya. Zakat diharapkan mampu meneguhkan semangat al-musmimu ikhwatun.

Ketika semangat kebersamaan dan cinta kasih sesama muslim dapat dicapai dengan cara distribusi zakat, bukan tidak mungkin aroma kemenarikan ajaran agama Islam tercium oleh pemeluk agama lain. Dengan begitu, mereka akan dengan mudah mengakui keagungan agama Islam dan jika Allah SWT membukakan hidayah pada hatinya, ia pun akan masuk Islam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

8 jam ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

9 jam ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

9 jam ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

1 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

1 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

1 hari ago