Imlek adalah perayaan hari besar masyarakat Tionghoa yang bukan saja terbatas pada ritual keagamaan saja, karena seiring dengan perjalanan waktu, perayaan imlek telah menjadi tradisi dan bagian dari budaya Indonesia. Karenanya perayaan Imlek yang tahun ini jatuh pada 8 februari 2016 tidak hanya dirayakan secara ‘eksklusif’ di klenteng-klenteng, tetapi juga dirayakan secara bersama-sama masyarakat lainnya melalui berbagai kegiatan, seperti pawai Barongsai, bagi-bagi angpao dan kebudayaan khas China lainnya.
Sebagai sebuah perayaan yang menjadi bagian dari budaya besar Indonesia, siapa saja tentu boleh ikut merayakan imlek. Terlebih, Imlek adalah perayaan hari besar masyarakat Tionghoa, tidak peduli apa agamanya. Lalu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Bolehkah (atau haruskah) masyarakat Indonesia merayakan Imlek? Utamanya karena tidak sedikit masyarakat yang masih kurang tepat dalam menyikapi dua isu besar terkait imlek, yakni; pertama, masyarakat Indonesia kebanyakan bukan orang Tionghoa, jadi kenapa repot-repot ikut merayakan hari besar orang Tionghoa? kedua, agama mayoritas orang Indonesia (Islam) diyakini melarang umatnya untuk ikut merayakan perayaan kelompok (agama) lain, kalau ngeyel ikut merayakan bisa dicap bid’ah atau bahkan musrik dan kafir. Kecuali perayaan tersebut sudah mendapat ‘cap halal’ dari MUI, mungkin ceritanya akan berbeda.
Tulisan ini akan mendiskusikan dua hal di atas. Pertama, benarkah masyarakat Indonesia sebaiknya tidak usah repot-repot ikut merayakan Imlek? Sebelum menjawab pertanyaan ini, hal utama yang harus ditegaskan adalah bahwa ikut merayakan tidak selalu berarti ‘repot’. Rayakan saja sesuai dengan kemampuan, misalnya dengan ikut mensyukuri keragaman bangsa ini. Kita tentu patut bersyukur dengan keragaman ini, terutama karena dari keragaman itu kita dapat saling belajar dan menguatkan. Jika kita menengok ke sejarah, masyarakat Tionghoa sejatinya bukanlah bagian asing dari bangsa ini. Jauh sebelum negeri bernama Indonesia lahir, masyarakat Tionghoa telah banyak yang bermukim dan menjadi bagian penting bagi kehidupan sosial nenek moyang kita.
Nama laksamana Cheng Ho (dikenal juga dengan nama Zheng He dan Ma Ho) beserta 27.550 armadanya tercatat telah memasuki wilayah Jawa dan Sunda Kelapa hingga Surabaya sejak abad ke 15. Kedatangannya itu tentu bukan hanya dimaksudkan sebagai persinggahan sementara, karena sejak saat itu bangsa China mulai banyak yang berdatangan dan memainkan peran penting baik dalam hal sosial maupun keagamaan.
Cheng Ho sendiri adalah seorang Muslim China penjelajah yang terkenal bukan saja di Asia, tetapi juga di seluruh dunia. Ia lahir dari etnis Hui, Yunan (Tiongkok) pada tahun 1370 M. Bersama rombongannya yang sebagian merupakan Muslim China, ia tercatat datang ke pesisir Jawa 3 hingga 5 kali. Laporan ini ditulis oleh Ma Huan, seorang Muslim China yang merupakan ahli bahasa Arab dan sekretaris Cheng Ho, dalam sebuah manuskrip yang berjudul Ying Yai Sing Lan (ditulis pada 1416). Dikutip dari artikel Sumanto al Qurtuby, Ma Huan bukan saja sekretaris yang bertugas untuk menuliskan segala hal yang dilakukan Cheng Ho, ia adalah orang yang bertugas sebagai mediator Cheng Ho ketika bertemu dengan “Bapak Walisongo”, Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.
Laporan-laporan Ma Huan –yang kemudian dikumpulkan oleh sejarawan gaek Groeneveldt dalam sebuah buku berjudul Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled form Chinese Sources— menunjukkan bahwa komunitas Muslim China telah menyebar di hampir semua daerah pesisir, terutama di kota-kota besar yang menjadi pusat pelabuhan. Komunitas Muslim China ini hidup berdampingan secara damai dengan komunitas Arab, India, Malaka dan Jawa.
Catatan sejarah tersebut dapat dibuktikan kebenarannya melalui berbagai peninggalan masyarakat Muslim China yang tetap dapat dinikmati sampai sekarang. Sumanto menyebut peninggalan kuno dalam kepurbakalaan Islam yang memiliki unsur-unsur budaya China tersebut sebagai Sino Javanese Muslim Cultures. Peninggalan tersebut membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya.
Bentuk keterpengaruhan budaya China itu juga dapat disaksikan dalam model-model bangunan masjid kuno yang ada di sebagian besar pulau Jawa. Dennys Lombard, seorang sinolog Prancis misalnya, menyebut bahwa model atap bertingkat yang ada di masjid-masjid kuno Jawa merupakan struktur Zhenhailou di Kanton, yang disebut Sumanto sebagai kota yang dikenal sebagai basis Islam di China. Sejarawan lain meyakini bahwa model atap bertingkat pada masjid-masjid kuno itu diilhami oleh bangunan Pagoda di China.
Sejarah juga mengungkap sisi-sisi lain perihal “kelenteng kontroversial”, dimana banyak kelenteng diduga kuat pada mulanya merupakan tempat peribadatan masyarakat Muslim China (masjid). Diantara kelenteng yang kontroversial tersebut adalah kelenteng Ancol/Nyai Ronggeng (Jakarta), kelenteng Talang (Cirebon), kelenteng Sampokong (Lasem & Tuban), dll. Kelenteng ‘masjid’ itu baru berubah fungsi menjadi kelenteng sebagaimana kita jumpai saat ini pada masa penjajahan belanda, dimana pada saat itu pemerintah China Daratan berkolaborasi dengan kolonial Belanda mendatangkan komunitas China Kong Hu Cu untuk mengurangi pengaruh Muslim China yang cukup kuat di Asia Tenggara.
Fakta ini tentu membuktikan bahwa masyarakat Tionghoa bukan ‘kelompok asing’ di negeri ini, karena mereka telah ada dan turut membangun sejarah sebuah bangsa yang dikemudian hari dikenal dengan nama Indonesia. Adanya pandangan bahwa masyarakat Tionghoa merupakan ‘penumpang gelap’ dalam sejarah Indonesia tentu bertentangan dengan fakta sejarah.
Keharmonisan hubungan antara warga pribumi dengan masyarakat Tionghoa telah berlangsung sejak sangat lama, bahkan istilah “Nyonya” (niowa atau nio’a) yang kita kenal saat ini merupakan sebutan yang ditujukan untuk perempuan lokal yang dinikahi oleh pria Tionghoa. Dalam perjalanannya, tentu telah ada banyak ‘nyonya’ dalam masyarakat kita, artinya darah Mongoloid telah bercampur baur di masyarakat Indonesia yang memang beragam. Salah satu tanda seseorang memiliki darah Mongoloid dapat dilihat dari “tembong biru” atau tanda hitam yang ada di pantat atau bagian bawah dari bayi yang baru dilahirkan. Jadi, masih menganggap masyarakat Tionghoa sebagai orang asing? seharusnya sudah tidak.
Isu kedua yang juga mulai sering dipekikkan sekelompok orang untuk menolak perayaan Imlek adalah penafsiran sempit atas ajaran agama, khususnya agama Islam. Saat ini memang tengah muncul kelompok yang begitu gemar mengumbar cap kafir kepada sesama yang memiliki pemikiran berbeda. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, selain pemikiran semacam itu dapat merusak ketentraman masyarakat, hal itu juga berpotensi membuat masyarakat menjadi tersesat.
Sebagai bagian dari tradisi dan budaya, tentu merayakan imlek tidak ada larangannya dalam agama. Apalagi salah satu basis penting dalam Islam adalah perkara Ukhuwah atau persaudaraan. Ukhuwah dalam Islam merentang mulai dari ukhuwah islamiyah (Persaudaraan antar orang beriman) hingga ke ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia). Alquran dalam surah Al Hujurat (49: 10-12) menjelaskan persaudaraan tersebut dapat digapai melalui etika pergaulan antar manusia yang diwujudkan melalui sikap tidak saling mengolok, menertawakan, berprasangka buruk, memata-matai dan saling menggunjing. Karenanya Islam selalu menekankan bahwa orang yang beriman itu bersaudara. Artinya, orang yang beriman selalu bisa mewujudkan dan menjaga persaudaraan.
Alasan lain yang juga kerap digunakan untuk menolak perayaan Imlek adalah tafsiran atas hadist Rasul yang berbunyi “Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum”. Hadist ini kerap dipahami secara sempit sebagai larangan bagi umat Islam untuk meniru kelompok lain, karena jika sampai umat Islam meniru kelompok lain, maka umat Islam akan menjadi bagian dari (atau sama saja dengan) kelompok yang ditiru itu. Tafsir semacam ini tentu perlu dikoreksi, karena yang dilarang untuk ditiru hanya sebatas pada hal-hal yang negatif, sementara untuk hal yang positif umat Islam justru diperbolehkan mempelajarinya. Hadist nabi yang memerintahkan umat Muslim untuk belajar hingga ke China merupakan salah satu buktinya. Rasul bukannya tidak tahu bahwa di China belum ada umat Islam, hingga ia memerintahkan umatnya agar pergi jauh-jauh ke China untuk belajar, lebih dari itu rasul merasa penting bagi umat Islam untuk selalu mengembangkan diri; tidak hanya diam dan berpuas dengan apa yang dipunya, tetapi harus terus belajar meskipun harus sampai ke China.
Kembali ke perayaan Imlek, perayaan ini merupakan wujud syukur dari saudara-saudara kita kelompok Tionghoa yang patut kita apresiasi. Mereka bukan ‘penumpang gelap’ dalam sejarah bangsa, merayakan imlek juga tidak melanggar ketentuan agama. Rayakan saja dengan tanpa melanggar syariat baku agama, misalnya ikutan happy tapi tidak ikut makan babi.
Berbagi kebahagiaan tentu tidak akan membuat murka Tuhan, selamat tahun baru China, Gong Xi Fa Cai!
This post was last modified on 9 Februari 2016 9:52 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…