Soekarno, Presiden RI pertama, ketika menyampaikan amanat di depan Kongres Rakyat Jawa timur pada 24 September 1955 di Surabaya mengemukakan kesan keterlibatannya dalam perumusan Pancasila secara reflektif dan medalam membuat para hadirin terharu—sebagaimana terdokumentasi dalam buku Pancasila Dasar Negara (2013).
Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti, ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: “Hai Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada Allah SWT?” Moga-moga, saudara-saudara, aku bisa menjawab… “Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara Republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Soekarno, yang menurut pengakuannya telah terlibat dalam gelanggang perjuangan kemerdekaan sejak usia 18 tahun dan mampu mencerap pengetahuan di luar pengetahuan mainstream, seperti yang terlihat dalam sidang BPUPKI, ketika tokoh-tokoh lain mengajukan konsep ideologi negara yang bercorak modern—negara Islam dan atau negara integralistik (Soepomo)—Soekarno justru mengajukan konsep Pancasila sebagai ideologi negara pada sidang BPUPKI I tanggal 1 Juni 1945. Pancasila, bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia, tetapi sudah menyejarah ratusan tahun silam.
Itulah sebabnya, Soekarno menolak predikat yang diberikan oleh Prof. Mr. Notonagoro saat pengukuhan Doctor Honoris Causa di UGM sebagai “pencipta Pancasila”, tetapi ia lebih setuju sebagai “penggali Pancasila”. “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali”.
Amanah Konstitusi
Lalu, apa hikmah yang bisa dipetik dari fakta di atas? Ungkapan Soekarno tersebut tentu dapat kita pahami dalam kapasitasnya selain sebagai presiden juga sebagai warga negara (rakyat). Soekarno (dan termasuk founding fathers lain) sebagai rakyat atau warga negara telah berkontribusi besar dalam sejarah pembentukan negara, yang sampai hari ini adalah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bagaimana dengan kita yang hidup dalam situasi aman dan damai, tidak lagi dijajah oleh praktik-praktik kolonialisme sebelum 1945? Adalah bentuk kedurhakaan—analogi seorang anak kepada orangtuanya—jika terdapat individu, apalagi kelompok masyarakat yang bertindak “makar” dengan misalnya, menolak Pancasila sebagai ideologi negara, melakukan aksi-aksi kekerasan seperti terorisme, dan tindakan-tindakan lain yang mengancam integrasi bangsa.
Mereka yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan negara, tentu saja boleh mengekspresikan ketidaksetujuannya itu dengan cara-cara bijak yang lazim dilakukan rakyat pada umumnya, seperti demonstrasi, audiensi dialogis, kritik dalam bentuk tulisan di media, dan lain-lain. Namun menjadi masalah dan tidak dibenarkan jika bentuk protes dan ketidaksetujuannaya itu dilakukan dengan cara-cara chaos, anarkistis yang mengancam hak keamanan serta hak hidup warga negara.
Seharusnya kita sadar bahwa sebagai warga negara dapat mengisi kemerdekaan RI ini dengan cara berkontribusi positif untuk kemaslahatan bersama. Menjadi warga negara yang baik, penting melakukan internalisasi ungkapan terkenal mantan presiden AS ke-35, Jhon F. Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang negara dapat perbuat untuk Anda, tetapi tanyakanlah apa yang dapat Anda perbuat untuk negara!”.
Menjadi warga negara yang baik, dengan demikian, berarti bersedia mematuhi aturan-aturan konstitusional, dan sebaliknya, dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan, apalagi melawan konstitusi. Konstitusi yang dimaksud, tentu Pancasila dan UUD 1945. Sebab, menolak konstitusi, tentu tidak relevan lagi dalam kehidupan modern sekarang. Mereka yang “getol” dan nekat menentang konstitusi mesti sadar dan perlu membaca ulang sejarah, bahwa pembentukan konstitusi RI telah melibatkan banyak unsur, mulai agama, etnis, dan perwakilan daerah yang dimusyawarahkan dalam sidang BPUPKI I dan II tahun 1945.
Konstitusi merupakan “perjanjian luhur”, sebuah “piagam” yang harus dihormati dan dijalankan, sebagaimana perintah dalam agama Islam: “awfu bi al-’uqud” (jalankanlah apa yang sudah menjadi kesepakatan/perjanjian)(Q.S al-Maidah: 1). Konstitusi dapat dipahami sebagai “perjanjian suci” yang disepakati oleh founding fathers yang harus ditaati oleh segenap rakyat—sebagaimana dalam peradaban Islam dikenal “Piagama Madinah”, dan oleh M. Yamin pada perumusan awal Pancasila disebut “Piagam Jakarta”. Semoga.
This post was last modified on 27 Maret 2016 7:37 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…