Narasi

3 Pilar Pendidikan Nasional; Agama, Budaya, Pancasila

Raibnya “frasa” agama dalam drat Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 dan diganti dengan frasa “budaya” melahirkan sejumlah tanda tanya. Kemendikbud memang membantah isu liar yang menyebut pemerintah akan menghapus pelajaran agama. Namun, tetap saja hilangnya frasa “agama” itu merupakan sebuah tragedi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Seperti kita tahu, isu agama bisa dibilang merupakan isu yang sensitive bagi masyarakat Indonesia. Polemik yang berawal dari isu agama rawan disalahpahami publik, bahkan dipolitisisasi yang pada akhirnya justru merugikan pemerintah sendiri.

Selain itu, jika kita membicarakan visi pendidikan bangsa, maka penghilangan frasa “agama” kiranya kurang tepat. Dalam konteks Indonesia, visi pendidikan selain membangun generasi yang cerdas dan terampil juga membangun karakter bangsa yang kuat. Apa itu karakter bangsa yang kuat? Yakni manusia Indonesia yang berakhlak mulia (beradab dan berbudaya), nasionalis, sekaligus relijius. Membangun karakter bangsa yang kuat itu tentu membutuhkan tiga unsur pokok, yakni agama, budaya dan Pancasila. Ketiganya memiliki peran dan kedudukan yang sama pentingnya, tidak ada yang lebih dominan dari yang lain, dan tentunya merupakan satu kesatuan integral.

Artinya, pendidikan agama kiranya juga harus melibatkan pendekatan (ke)budaya(an) dan memasukkan perspektif Pancasila. Demikian pula, sebaliknya. Maka, kehadiran tiga unsur pokok itu dalam pendidikan merupakan prasyarat mutlak untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan terampil, namun juga nasionalis, relijius dan berkarakter. Unsur agama menjadi penting dalam visi pendidikan lantaran Indonesia merupakan negara relijius. Agama merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Agama telah menjadi unsur pembangun struktur masyarakat. Denyut nadi kehidupan masyarakat salah satunya disumbang oleh keberadaan agama.

Bahkan, jauh sebelum kita mengenal sistem pendidikan formal, pendidikan agama non dan semi-formal telah terlebih dahulu berperan dalam membangun karakter dan akhlak bangsa. Di keluarga, model pengasuhan (parenting) masyarakat Indonesia umumnya bertumpu pada ajaran agama. Lebih dari itu, agama memiliki seperangkat ajaran dan nilai yang kiranya relevan dan kontekstual untuk dijadikan inspirasi dalam membangun dan menguatkan karakter bangsa. Maka, tidak ada alasan untuk menghapus pelajaran agama dari kurikulum pendidikan nasional.

Demikian pula, unsur budaya juga sangat penting dalam mensukseskan visi pendidikan demi membangun karakter bangsa. Perspektif kebudayaan sangat kita butuhkan saat ini di tengah menguatnya nalar pragmatisme dalam pendidikan. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang selama ini berjalan di Indonesia cenderung miskin perspektif budaya. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya kerapkali hanya mengajarkan ilmu pengetahuan terapan (hard skill) ke peserta didiknya. Namun, di saat yang sama mereka lupa mengenalkan dimensi kebudayaan Indonesia yang sesungguhnya sangat kaya.

Konsekuensinya, pendidikan kita menjadi sangat mekanis. Para siswa cerdas dalam ilmu-ilmu sains terapan, namun acapkali miskin empati, simpati dan tumpul jiwa seninya. Padahal, empati-simpati dan dimensi estetika merupakan bagian penting untuk membangun karakter manusia yang utuh. Tanpa jiwa empati, simpati dan ketajaman naluri estetika, manusia akan hidup layaknya robot yang tidak berperasaan dan tidak memiliki sensitivitas dalam merasakan dan menghayati realitas sosial. Puncaknya, manusia akan terhempas ke dalam sikap apatis, cuek, dan bahkan intoleran.

Tidak kalah pentingnya ialah unsur Pancasila yang idealnya juga melekat dalam visi pendidikan nasional. Pancasila ialah filosofi bangsa yang menjadi fondasi struktur kebangsaan Indonesia yang terdiri atas beragam entitas majemuk. Pancasila merupakan simpul pengikat yang memastikan bangsa Indonesia tidak tercerai-berai oleh kepentingan primordialisme dan politik identitas. Maka, sangat penting menjadikan Pancasila sebagai salah satu pilar penopang pendidikan nasinoal yang bertujuan memperkuat karakter bangsa.

Nilai-nilai dalam Pancasila, mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan idealnya hadir dan termanifestasikan dalam sistem pendidikan nasional. Maka, selain melahirkan insan yang relijius, dan berbudaya pendidikan nasional juga harus melahirkan insan yang pancasilais. Yakni insan yang teguh dan setia pada NKRI dan Pancasila serta siap siaga menghalau setiap ancaman dari luar.

Internalisasi prinsip keagamaan, kebudayaan dan Pancasila dalam visi pendidikan nasional, dengan demikian merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Absennya salah satu pilar, entah itu agama, budaya maupun Pancasila akan membuat pendidikan nasional menjadi pincang dan tidak seimbang. Kita patut bersyukur lantaran sebagai bangsa, kita dikaruniai dengan kekayaan tidak terkira, yakni multirelijisuitas dan multikulturalitas. Barangkali hanya Indonesia, negara dengan kekayaan ragam budaya dan pluralitas agama, yang bisa bisa tetap utuh, bersatu dan tidak terpecah-belah. Dari sisi agama, kita mengenal setidaknya enam agama resmi yang diakui negara dan ratusan atau bahkan ribuan agama lokal (tradisional) yang tetap berkembang secara turun-temurun di banyak kelompok masyarakat. Semua agama itu mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kemuliaan dan kemanusiaan. Tidak ada satu pun agama menganjurkan kejahatan dan kebiadaban.

Begitu pula dalam hal kebudayaan. Indonesia merupakan negara multikultur yang sangat kaya akan bahasa, adat istiadat, seni tradisional, kearifan lokal dan segala rupa produk cipta, rasa, dan karsa manusia. Semua itu (keragaman budaya dan pluralitas agama) kiranya bisa menjadi modal sosial untuk membangun (karakter) bangsa. Tentu jika kita berhasil mengelolanya. Sebaliknya, jika kita gagal mengelola keragaman itu, maka ancaman konflik dan perpecahan sudah ada di depan mata.

Arkian, raibnya frasa “agama” dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 ini kiranya tidak perlu terjadi dan tidak boleh terulang di masa depan. Kita sudah bersepakat bahwa Indonesia merupakan negara beragama yang menjadikan agama sebagai mitra-mutualistik negara. Kita bukan negara sekuler yang menempatkan agama di ruang privat. Memasukkan agama dalam visi pendidikan nasinoal merupakan kebutuhan, alih-alih kewajiban. Tanpa unsur agama yang bertumpu pada pembangunan moral dan etika, pendidikan nasional akan kehilangan subtansinya sebagai bagian penting dari upaya memperkuat karakter bangsa.

This post was last modified on 18 Maret 2021 1:05 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago