Selain suci, mimbar agama sering kali dianggap tempat yang sakral. Maka, kesucian dan kesakralan sering kali membuat orang tidak berani berbuat sembarangan di atas mimbar. Bahkan, ada penceramah (pengguna mimbar) yang harus melakukan ritual tertentu ketika akan naik ke atas mimbar.
Kendati demikian, ada juga penceramah yang justru menyampaikan ujaran kebencian di atas mimbar agama. Sebagian terang-terangan, sebagian lain samar-samar. Namun demikian, keduanya sama-sama tidak diperkenankan dalam agama. Selain itu, stabilitas sosial pun akan terciderai.
Dalam pada itulah, mengetahui tanda-tanda seorang penceramah menyampaikan ujaran kebencian atau tidak sudah menjadi kebutuhan. Menurut Babak Bahador, profesor peneliti di School of Media and Public Affairs, George Washington University, tanda-tanda perkataan mengandung ujaran kebencian antara lain:
1. Merendahkan Seseorang atau Kelompok Tertentu
Di atas mimbar agama, seorang mengucapkan narasi kebencian dengan cara merendahkan seseorang atau kelompok tertentu. Kondisi ini biasanya dilakukan dalam rangka mengunggulkan diri atau kelompok tertentu dengan merendahkan diri atau kelompok tertentu.
Seorang penceramah sudah semestinya melakukan pembelaan atas ‘keimanan’ yang ia anut. Namun demikian tidak diperkenankan melakukan ujaran kebencian dengan merendahkan terhadap pilihan orang atau kelompok lain. Lebih-lebih merendahkan individu ataupun kelompok lain hanya karena urusan politik atau kepentingan pribadi. Hal ini sangat tidak elok dilakukan.
Merendahkan seseorang atau kelompok tertentu bukan saja larangan negara namun juga dalam agama. Agama mengajarkan bahwa dalam diri setiap individu atau kelompok harus memiliki sifat hamba. Sebagai seorang hamba harus merasa kecil, tidak diperkenankan sombong sehingga merendahkan individu atau kelompok lain.
2. Hasutan Melakukan Kekerasan Fisik
Kata-kata yang mengandung hasutan yang diucapkan para penceramah agama di atas mimbar juga termasuk ujaran kebencian. Fenomena ini juga sudah sering terjadi. Seorang penceramah di atas mimbar agama memprovokasi umat agar melakukan aksi-aksi yang tidak baik. Mereka mengajak memberontak, mengajak berdemo dengan merusak piranti-piranti umum, dan lain sebagainya.
Narasi keagamaan yang mengandung hasutan seperti ini sangatlah berbahaya. Bahkan ucapan-ucapan sang penceramah bisa saja menjadikan audiens menjadi bughat. Dalam pengertian syara’, bughat adalah orang-orang yang menentang atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara sah. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang sah, membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada mereka. (an-nur.ac.id).
3. Dehumanisasi
Dehumanisasi juga termasuk ujaran kebencian yang menjadi tanda seorang penceramah mengucapkan ujaran kebencian di atas mimbar agama. Saat ini, dehumanisasi sudah sering dilakukan oleh penceramah kelompok tertentu. Mereka dengan entengnya meremehkan dan menyamakan kelompok lain dengan entitas yang dibenci secara budaya. Kata-kata babi, tikus, monyet, kuman, kotoran, ataupun hal-hal lain yang berkonotasi negatif sering kali diucapkan.
Dehumanisasi sering kali juga digunakan para penceramah untuk meledek kelompok lain dengan melibatkan para jamaah. Penceramah menyamakan kelompok lain dengan entitas tertentu yang dipandang negatif di hadapan para jamaah dan jamaah pun tertawa menertawakan kelompok yang dimaksud. Tentu ujaran kebencian ini bukan hanya berada pada diri penceramah namun juga akan dengan mudah menular pada jamaah. Bagaimanapun, secara psikologis, jamaah juga merasa menyatu dengan penceramah manakala komunikasi dua arah berjalan dengan baik dan gembira.
4. Demonisasi
Penceramah agama menggunakan demonisasi dengan menggambarkan seseorang atau kelompok lain sebagai sesuatu yang tidak biasa, tapi dengan konotasi negatif. Penceramah menggambarkan orang atau kelompok lain dengan monster, robot, atau penyakit fatal seperti kanker yang merupakan ancaman mematikan.
Demonisasi yang diucapkan penceramah biasanya mampu membuat jamaah menjadi alergi terhadap orang atau kelompok tertentu. Hal ini karena individu atau kelompok tertentu dianggap sebagai penyebab orang atau kelompok lain menderita atau tersakiti. Padahal, tidak seperti itu yang terjadi. Bisa saja jamaah menjadi sakit hati karena ucapan penceramah agama yang mengandung demonisasi.
5. Menuduh Negatif Seseorang atau Kelompok
Penceramah agama juga sering kali mengklaim individu atau kelompok kelompok tertentu melakukan perbuatan negatif. Para penceramah memfitnah pejabat atau pemerintah melakukan korupsi tanpa adanya bukti-bukti yang dibenarkan adalah salah satu contoh yang sering terdengar. Fitnah-fitnah lain semisal mengatakan bahwa salah seorang pejabat adalah komunis padahal ahli ibadah juga termasuk di dalamnya. Dan hal ini perlu diwaspadai.
Bermula dari sinilah, ketika kita sudah mengetahui tanda-tanda ujaran kebencian di atas mimbar, maka kita perlu untuk waspada. Isi khutbah semisal ini tidak perlu untuk dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Dan bagi penyelenggara kegiatan ataupun takmir masjid mesti bisa menyeleksi penceramah agama yang seperti ini.Wallahu a’lam.
This post was last modified on 30 Januari 2023 4:14 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…