Agama diyakini sebagai media untuk ‘mempertemukan’ manusia beserta seluruh makhluk di dunia dengan sang pencipta, yang kemudian ‘populer’ dengan nama Tuhan. Dalam agama, banyak orang mengklaim menemukan ketenangan dan kejelasan arah hidup, dalam agama pula orang berlomba-lomba untuk selalu melakukan yang terbaik, karena dalam agama orang percaya bahwa apapun yang diperbuat selama di dunia –baik perbuatan yang baik maupun buruk—akan menerima pembalasan kelak di akhirat sana.
Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula bahwa agama kerap dimanfaatkan sebagaian orang untuk menebar kebencian dan akhirnya memecah peperangan. Boleh saja sebagian orang tetap keukeh menyatakan bahwa perang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama, namun fakta menunjukkan bahwa perang yang mengatasnamakan agama sudah terlalu sering terjadi. Rebutan klaim kebenaran kerap menjadi problem utamanya, di mana orang akan dengan mudah memerangi sesama hanya karena tafsiran sempit atas ajaran agama.
Pada konteks ini, tentu yang dimaksud dengan agama adalah seperangkat ajaran dan cara manusia dalam menanggapinya. Perbedaan bahasa, budaya dan kemampuan manusia untuk menerima ajaran agama membuat sistem kepercayaan ini jauh lebih kompleks dari sekedar urusan surga dan neraka. Karenanya tidak heran jika kemudian agama kerap tampil (atau ditampilkan) dalam beragam rupa, termasuk rupa buruk yang sarat dengan permusuhan dan ajakan-ajakan busuk.
Charles Kimball, salah seorang pemikir progresif dalam kajian keagamaan, menjelaskan bahwa agama bisa saja menjadi bencana. Dalam salah satu karya besarnya, When Religion Become Evils (Kala Agama Menjadi Bencana), ia menuturkan bahwa agama bisa sewaktu-waktu menjadi jahat apabila umatnya sudah keranjingan pada lima hal berikut:
Saat ini, kelima tanda yang dijabarkan Kimball di atas tampak juga pada beberapa umat beragama –yang tidak sedikit dari mereka—berkeliaran di sekitar kita. Agama hanya digunakan untuk menebar kebencian dan memulai peperangan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa memang ada usaha dari kelompok tidak bertanggung jawab untuk mengubah agama yang semula dimaksudkan untuk menjadi rahmat bagi semesta menjadi awal dari bencana.
Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan, merelakan agama tetap berada di kubangan kekerasan dan jauh dari kewarasan adalah sama halnya dengan mematikan agama itu sendiri. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dengan terus berusaha menampilkan wajah agama dalam kebaikan, teruslah berbuat baik karena kejahatan tidak akan bisa mengalahkan kebaikan. Lagi pula, kekerasan dan pemaksaan kehendak hanya akan membuat kepala dan hati sesak.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…