Kebangsaan

Agama dan Nasionalisme; Dua Kutub Saling Menguatkan

Terdapat hal menarik ketika Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menolak menghormat bendera Belanda dan Jepang. Bukan karena menyekutukan Allah, Rais Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat menguasai ilmu hadits ini tidak mau menghormat bendera negara penjajah karena alasan rasa nasionalisme yang tinggi. Terhadap bendera merah-putih, Mbah Hasyim membolehkan untuk menghormati sebagai bentuk rasa cinta terhadap negara, bukan penyembahan.

Mbah Hasyim, sapaan karib Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pernah dawuh, “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.”

Dalam rangka menunjukkan rasa kesetiaan terhadap bangsa dan negara, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir, Syekh Athiyah Shaqar, mengatakan, “Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”

Ketua Majelis Ulama Al-Jazair tahun 1999-2001, Abudurrahman Syaiban, menerangkan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan akidah karena tidak ada di dalam nash (al-Qur’an dan hadits) yang mengharamkannya. Ia mengatakan, “Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya, itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.

Sehingga, umat Islam harus cerdas, mengetahui maksud seseorang melakukan sebuah aktivitas. Dalam hal kemusyrikan, Mbah Hasyim juga pernah mencontohkan keteguhan hati dalam memperjuangkan nilai-nilai tauhid di dalam hatinya. Ia rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan keimanan di dalam hatinya. Dalam menolak kemusyrikan, Mbah Hasyim dengan tegas menolak seikerei. Di dalam laman Smansa Edu diterangkan bahwa seikerei adalah penghormatan kepada dewa matahari dengan cara membungkukkan badan mengarah pada matahari terbit. Ini adalah ritual bangsa Jepang dari agama Shinto yang mengajarkan untuk menghormati dewa matahari.

Sungguh, sebagian kelompok muslim berpendapat bahwa menghormat kepada bendera merupakan sebuah kemusyrikan. Hal ini terjadi karena umat muslim hanya diperbolehkan menyembah Allah saja. Bahkan, terhadap nabi dan rasul pun tidak diperkenankan menyembah. Seorang yang melakukan tindak penyembahan terhadap selain Allah, maka dosanya tidak terampuni. Maka, golongan ini berpendapat bahwa menghormat kepada bendera adalah sebuah perbuatan yang mengandung dosa besar.

Pendapat semacam ini perlu mendapat pemahaman bahwa seseorang yang menghormat kepada bendera bukan berarti menyembah Allah. Orang yang menghormat kepada bendera bukan berarti menyekutukan Allah. Dalam beberapa kasus, umat muslim harus menghormat kepada beberapa objek/manusia. Seorang anak mesti hormat kepada orang tua. Seorang istri harus hormat kepada suami. Begitu seterusnya. Sikap hormat yang diberikan ini bukan berarti menyembah/menyekutukan Allah. Maka, begitu juga dengan orang yang menghormat bendera, ia sekadar menghormat bukan menyembah.

Maka, sudah semestinya peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia kita peringati dengan gayeng. Mari menghormat sangsaka merah putih yang gagah sebagai bentuk kecintaan kita pada negara Indonesia. Dengan keseragaman kita mencintai Indonesia akan menjadi bekal untuk menyatukan keberagaman suku, ras, budaya, dan agama. Dengan modal kesamaan ini akan menjadikan perdamaian terjadi di mana-mana. Meski berbeda-beda, tetap ada kesamaan, sama-sama sebagai warga negara Indonesia. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

3 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

3 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

3 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

3 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

3 hari ago